“Tahun 2021 kami juga masih menganggarkan Rp 1,5 milyar untuk ATS dan anak beresiko putus sekolah baik dari level SD, SMP dan juga kelompok belajar / kejar paket A setara SD maupun B setara SLTP. Selain bantuan ATS, juga ada kegiatan beasiswa pendidikan untuk pendidikan tinggi dan pesantren dalam rangka membantu siswa untuk tidak putus sekolah,” katanya.
Angka ATS yang tinggi di Purbalingga yang mempengaruhi angka rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah tentu akan berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karenanya penanganan ATS tetap jadi prioritas Pemkab Purbalingga.
Tim GMPS sendiri akan mendapatkan pendampingan dari Unicef dengan mitranya Institut Teknologi Dan Bisnis (ITB) Semarang beserta para fasilitator. Arah kebijakannya yakni mengembalikan anak putus sekolah ke sekolah formal, mendorong semakin banyak terbentuk dan beroperasinya PKBM guna memperluas layanan sekolah melalui kejar paket serta pendidikan kecakapan hidup /life skill untuk menunjang kemampuan ekonominya dalam mengarungi kehidupan sehari-hari.
“Untuk mewujudkan sukses penanganan ATS, saya minta agar Dinpermasdes dan unsur dari desa untuk ikut mendampingi. Dindikbud diminta untuk memantau, memfasilitasi serta kolaborasi dengan Dindikbud Jateng untuk memastikan anak dapat menyelesaikan sekolahnya. Secara berkala kami akan mengevaluasi progres penanganan ATS ini,” katanya.
Kepala Perwakilan Unicef wilayah Jawa - Bali, Ermi Ndoen mengungkapkan GMPS merupakan gerakan moral bersama untuk memenuhi cita-cita anak-anak, untuk mempunyai hak pendidikan yang sama.
"Kita tidak melihat angka 20.283 (ATS), tapi kita berfikir bahwa tidak boleh satu anak pun di Purbalingga yang tidak mendapatkan hak pendidikannya," katanya.
Editor : Aryo Arbi
Artikel Terkait