Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah.
Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Tanah Suci Makkah.
Setibanya di ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Ia bertekad meneruskan cita-cita ayahandanya sebagai ulama dan sastrawan. Banyak karya yang dihasilka Hamka, di antaranya menerbitkan Majalah Pedoman Masyarakat dan novel Di Bawah Lindungan Kakbah serta Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Dari situlah namanya mencuat sebagai sastrawan terkemuka. Keponakan Buya Hamka, Hanif Rasyid mengatakan, di usia 13 tahun, orangtua Hamka berpisah.
Perpisahan itu membuat hantaman hebat pada jiwanya. Jika dulu ia nakal karena manja, pada saat itu dia betul-betul menjadi nakal karena tidak suka dengan kata 'perpisahan'. "Ayahnya sangat malu, sebagai ulama besar ketika mendengar anaknya nakal.
Begitu bertemu dengan Hamka, dengan membawa emosi dari Padang Panjang, ia marah. Hal ini menjadikan Hamka berpikir bahwa ayahnya tidak sayang terhadap dirinya. Kemudian dia pergi ke tepi danau dan berpikir mana yang terbaik.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait