Menjadi nakal atau menjadi ulama. Ayahnya pernah berkata bahwa 'aku tidak bercita-cita kau jadi anak nakal. Aku bercita-cita kau menjadi ulama'," ucap Hanif dalam sebuah perbincangan dikutip dari channel YouTube, Beranda Islami.
Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya dan mengikuti langkah sang paman ke Tanah Jawa. Tak ada pendidikan formal yang diampu di sana. Perlahan tapi pasti Hamka pun menjadi ulama meski secara otodidak.
"Beliau yang saat itu berusia 16 tahun, kemana pamannya pergi dia pasti ikut. Dia mendengar uraian tentang politik dan penjajahan Belanda dari HOS Tjokroaminoto, dia belajar agama dengan Kiai Fahruddin, belajar tafsir dengan Ki Bagus Hadi Kusumo dan mempelajari ilmu kemasyarakatan kepada Suryo Pranoto. Semuanya ulama Jawa. Berilmulah anak yang nakal ini. Matanya yang keras dan tajam, mulai melembut dan hatinya mulai tenang," terang Hanif.
Seolah tak pernah puas mereguk ilmu, Hamka kemudian menjejakkan kakinya ke Malaysia bahkan ke Tanah Suci Makkah. Ia menunaikan ibadah haji di usia 19 tahun. Dua tahun setelahnya, ia menikahi Siti Raham binti NH Sutan. Keduaanya pun dikaruniai 10 orang anak. Di mana salah satunya ialah Profesor Aliya Hamka, yang melanjutkan peran ayahnya sebagai pengajar.
"Buya Hamka itu seorang otodidak. Dia tidak tahu perihal teori-teori kekinian. Baik teori pendidikan dan teori apapun. Dia hanya tahu berdasarkan pengalamannya yang dihubungkan dengan agama yang ia dapatkan. Dia mengarahkan ke kita (anak-anaknya) pada muara agama. Jadi, agama merupakan jalan terakhir," terang Aliya Hamka, putri Buya Hamka.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait