JAKARTA, iNewsPurwokerto.id – Seorang perwira menengah TNI Angkatan Udara secara sembrono mengirim surat kepada presiden. Parahnya, dia dengan tanpa malu-malu meminta agar dijadikan gubernur Jawa Barat. Kok bisa?
Cerita ini terjadi pada tahun 1981. Perwira menengah Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) itu nekat mengirimkan surat kepada Presiden Soeharto dengan harapan dapat ditunjuk sebagai gubernur Jawa Barat menggantikan Aang Kunaefi yang masa jabatannya telah habis.
Aksi perwira menengah itu tentu saja membuat Presiden Soeharto gusar. Pada era itu, wewenang penentuan kepala daerah berada di tangan presiden dan tidak ada yang boleh mengotak-atik hal ini. Kesal dengan munculnya surat itu, Pak Harto memanggil pimpinan TNI AU.
Sebagai akibatnya, pimpinan AU kemudian menugaskan Kepala Dinas Hukum (Kadiskum) Kolonel Kahardiman untuk menangani persoalan tersebut. Kahardiman pun memanggil perwira menengah itu ke kantornya.
“Mas, kenapa Anda sampai nekat mengirim surat ke Pak Harto?” tanya Kahardiman sebagaimana diceritakan dalam buku “Hakim Agung Kahardiman, dari Oditur, Opstib hingga Arbiter,” (halaman 21), dikutip Senin (8/7/2024).
Sayangnya, Kahardiman tidak menyebut nama atau inisial perwira tersebut. Yang jelas, mendapat pertanyaan ini, sang perwira seketika terlihat bingung dan ketakutan.
Lantas apa jawaban perwira menengah itu? Ini lah yang sungguh mengejutkan. Perwira menengah itu menyebut bahwa sebenarnya dia tidak pernah berniat mengirim surat ke Pak Harto. Masalahnya, dia dipaksa oleh sekelompok orang.
Menurut versinya, pemimpin kelompok itu sakti semacam dukun. Bahkan disebutnya orang Timur itu bisa membunuh dari jauh. “Makanya saya nekat,” ucapnya, ditirukan Kahardiman.
Cerita belum berhenti di situ. Menurut perwira menengah tersebut, dukun itu menyuruhnya membuat surat permintaan menjadi gubernur Jawa Barat. Sang perwira makin ketakutan karena dukun tersebut memperlihatkan api di tangannya seolah-olah menegaskan kesaktiannya.
Kahardiman tentu saja heran. Penasaran, dia mempertanyakan dari mana sang perwira menengah itu mengenal pria yang diklaim dukun tersebut. Rupanya berawal dari obrolan saja. Perwira itu menanyakan kepada dukun kenapa kariernya di AU mandek.
Bukannya mendapat pertolongan, eh ujungnya malah dia harus kirim surat ke presiden. Suatu hal yang ketika itu bukan saja dianggap tidak sopan, tapi benar-benar di luar kepatutan. Jangankan perwira menengah, jenderal TNI saja belum tentu menyurati Soeharto jika tidak ada keperluan penting urusan negara.
Ditangani Hendropriyono
Kahardiman tak kehilangan akal. Dia pun menawarkan agar AU menyelesaikan persoalan tersebut. Tak diduga sang perwira sangat gembira. “Ya, saya senang sekali,” katanya dengan muka cerah.
Kahardiman lantas teringat dengan AM Hendropriyono. Baginya, ahli intelijen itu dianggap sebagai sosok yang tepat untuk berdiskusi mengenai masalah perdukunan tersebut.
Kahardiman mengenal Hendro ketika prajurit Kopassus itu masih berpangkat mayor dan bertugas di Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI. Kahar lantas menelepon lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) 1967 tersebut. Lulusan UGM ini lantas menceritakan apa yang sedang ditanganinya. Hendro merespons dengan sigap.
“Apa perlu kita yang bergerak?” ujar mantan komandan kompi Prayudha Korps Baret Merah itu.
“Wah, tidak usah, biar Pak Koco dari Aspam AURI saja yang turun untuk mengatasi,” ucap Kahardiman buru-buru.
“Oh, ya sudah. Kalau perlu nanti saya yang menghubungi Pak Koco,” ujar Hendro lagi.
Begitulah kasus tersebut akhirnya selesai. Selang beberapa waktu, perwira menengah yang mengirim surat ke Soeharto agar dijadikan gubernur Jawa Barat itu kembali mendatangi Kahardiman. Dia menceritakan bahwa dukun yang menerornya sudah tidak mengganggunya lagi.
Kahardiman pun bergumam, “Ternyata gerakan intelijen halus dari Pak Hendropriyono membuahkan hasil,” ucapnya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait