Beruntung plastik itu dapat keluar seiring bersin gajah yang menggelegar dan plastik itu kembali hanyut menuju lautan lepas. Disanalah plastik dikira ubur-ubur sebagai makanan oleh kura-kura. Bukannya kenyang, kura-kura malah terjebak dalam gumpalan plastik.
Untungnya, kura-kura bisa menepi ke daratan dekat hutan lalu ditolong oleh gajah, monyet, kambing, dan jerapah. Rupanya diketahui bahwa plastik adalah milik Momo karena ada tulisan “Pisang Momo”. Di situ, Momo meminta maaf dan berjanji tidak akan membuang sampah sembarangan lagi.
Kisah belum usai, rupanya di kemudian hari, Momo bosan dengan pisang segar dan membuat pisang goreng. Setelah menggoreng, minyak goreng bekas atau jelantahnya dibuang begitu saja ke alam.
Minyak jelantah yang hitam pekat itu lalu mencemari sungai dan lautan. Si gajah yang suka minum di sungai terkejut karena air sungai berubah jadi pahit dan berminyak. Demikian juga kura-kura, badannya lengket dan kesulitan bernafas.
Anak-anak tampak antusias mendengarkan kisah “Gara-gara Sampah” yang dibawakan sekitar 30 menit. “Lewat dongeng ini, saya ingin menggambarkan betapa bahayanya sampah dan jelantah yang dibuang sembarangan,” kata Megandika.
Bersama dengan Komunitas Peduli Jelantah yang diketuai Sidiq Fathoni, para sivitas akademika SD Santo Yosep akan diajak mengumpulkan jelantah per bulan. Jelantah itu nantinya akan dibeli oleh komunitas dan uangnya akan digunakan sebagai aksi sosial dan gerakan mendukung program peduli lingkungan.
“Jelantah yang sudah dikumpulkan akan dibawa ke perusahaan untuk disaring dan diolah jadi biodiesel. Pemanfaatan biodesel sebagai energi terbarukan bisa mengurangi emisi karbon. Jadi jelantah itu tidak dijual untuk konsumsi,” kata Fathoni.
Kepala SD Santo Yosep Purwokerto Robertus Widiarta menyampaikan, pihaknya berharap para peserta didik bisa kian memahami pentingnya memilah sampah serta tidak membuang jelantah sembarangan karena dapat mencemari lingkungan dan merusak ekosistem.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait