BANYUMAS, iNewsPurwokerto.id - Saat itu hujan lebat di Wilayah Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas. Bagi Ika Suprihatin, Camat Tambak ini, ia harus bergegas menuju lokasi banjir di wilayahnya. Camat yang sudah bertugas hampir 4 tahun ini segera mengenakan sepatu bootsnya. Seperti biasa, ia segera masuk ke wilayah yang tertimpa musibah banjir.
Namun, langkahnya terhenti seketika. Ia terkejut melihat kelabang, luwing, dan ular mengambang dipermukaan air banjir. Spontan, ia mengangkat roknya tinggi-tinggi dan bahkan melompat ke atas meja.
Ika Suprihatin, Camat Tambak. Foto: Saladin Ayyubi
“Saya terkejut dan tiba-tiba saja nyincing rok saya. Saya juga naik meja saking takutnya liat klabang, luwe dan ular,” ungkap Ika saat berbincang beberapa waktu lalu.
Sejak dilantik sebagai Camat Tambak pada Oktober 2020, Ika yang akrab disapa BCT (Bu Camat Tambak) sudah terbiasa menghadapi bencana. Salah satu pengalaman beratnya terjadi pada Maret 2021, ketika lima desa di wilayahnya Prembun, Gebangsari, Gumelar Kidul, Karang Petir, dan Plangkalan, terendam banjir selama 12 hari.
“Saya selama 12 hari banjir tidak pulang dan tidur dikantor. Ini semua saya lakukan untuk memastikan kondisi warga saya termasuk ketersediaan bantuan saat terjadi bencana banjir,” kenang Ika, alumni STPD angkatan X yang bertugas di daerah perbatasan Kabupaten Banyumas paling timur.
Namun di tengah banyaknya bencana banjir dan tanah longsor di wilayah tugasnya, ia selalu bersyukur. Sebab masyarakat serta Forkompimcam selalu kompak dan bahu-membahu dalam menangani bencana. Dalam penanganan bencana, ia tidak bisa mengandalkan bantuan segera dari kabupaten karena jarak yang sangat jauh.
Ika juga mengaku senang saat pertama menjadi camat di sini. Ia merasa asik saja bisa berbaur dengan masyarakat dengan berbagai problematikanya. Bahkan dengan bisa membantu membawa Orang Dengan Gejala Jiwa (ODGJ) ke rumah singgah Dinas Sosial, membantu mengurus warganya yang tidak punya BPJS ia sudah sangat senang hatinya.
Salah satu kisah yang membekas di hatinya adalah saat bertemu seorang pedagang sayur di pinggir jalan desa. Setelah berbincang, ia mengetahui bahwa pedagang tersebut mengidap asma dan tinggal di rumah tidak layak huni yang nyaris roboh. Saat mengunjungi rumahnya di Desa Watu Agung, ia menemukan satu keluarga yang semuanya sakit dan hidup dalam kondisi mengenaskan.
“Setelah saya tanya ternyata orang Watu Agung, kita lalu kesana dan akhirnya bisa difasilitasi bangunan RTLH dan dibantu BPJS-nya,” ujarnya.
Cerita lain, saat kunjungan ke Desa Prembun ke sebuah rumah tak layak huni, ia melihat anak dari penguni rumah mengalami sakit gangguan jiwa. Sementara ibu dari penghuni rumah ini hanyalah penjual daun klaras, dan bapaknya sudah meninggal dunia. Ia sangat prihatin ketika melihat anak-anak di rumah ini juga sakit sementara anak ke 4 nya ingin melanjutkan kuliah, namun terhalang biaya.
“Saya akhirnya berinisiatif membawa ke rumah sakit untuk dirawat dan untuk berobat rutin. Sementara anak yang ingin kuliah saya bantu dengan kerjasama Univeristas Muhamadiyah Purwokerto dan alhamdulillah bisa kuliah gratis,” kata Ika sambil terharu.
Sebagai ibu tiga anak yang lahir pada 1978, Ika menganggap tugasnya sebagai camat bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga ibadah. Dari 12 desa yang ia pimpin, Desa Watu Agung menjadi perhatian khusus karena merupakan wilayah terluas, mencakup sepertiga dari seluruh kecamatan.
Desa ini baginya mendapat perhatian ekstra, karena dihuni kurang lebih 12 ribu warga dengan tingkat kemiskinan ekstrim, serta banyak warganya yang putus sekolah, bahkan kasus stunting yang mengkhawatirkan.
“Kami selalu harus siap tugas di wilayah ini dengan segala tantangan namun juga rasa senang dekat dengan masyarakat. Doakan saya bisa mengemban amanah ini ya mas,” pungkas BCT saat dihubungi kembali lewat telpon di lokasi bencana tanah longsor, Kamis (6/3/2025).
Bu Camat Lumbir Dihentikan Warga di Tengah Jalan
Sebuah kejadian unik dialami Camat Lumbir, Susanti Tri Pamuji saat melintas di jalan Desa Cirahab, Kabupaten Banyumas. Mobil yang ditumpanginya tiba-tiba dihentikan oleh seorang pemuda yang berteriak, “Stop, Bu… stop!”
Sopir dan penumpang di dalam mobil, termasuk Santi, sapaan akrab Bu Camat Lumbir (BCL), terkejut dan sempat merasa waspada. Namun, setelah turun, pemuda itu menjelaskan maksudnya. “Maaf bu camat, embah saya ingin berfoto bareng bu camat. Embah saya sudah sepuh ada dipinggir jalan,” pemuda itu menunjuk wanita tua berusia sekitar 80 tahun yang tak jauh darinya.
Camat Lumbir, Susanti Tri Pamuji. Foto: Saladin Ayyubi
Mendengar hal itu, Santi pun tertawa dan segera menghampiri sang nenek untuk berfoto bersama. “Ternyata nenek itu suka dengan camat wanita dan penasaran pengin foto bersama. Makanya saya disuruh turun untuk foto bersama dan nenek itu menunggu dipinggir jalan karena tahu saya akan lewat,” cerita Santi dengan senyum lebar.
Kejadian serupa bukan pertama kali dialaminya. Pernah suatu ketika, seorang ibu hamil tiba-tiba mendekatinya hanya untuk meminta dielus perutnya. “Saya manut saja untuk mengelus, tentu saja sambil saya doakan kehamilan ibunya ini,” ujarnya.
Berdinas di Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas ini memang berbeda dari wilayah yang lain. Wilayah kecamatan paling ujung barat Kabupaten Banyumas dengan luas wilayah 10.266,095 Ha atau 102,66 Km2 dan berada di ketinggian 35 – 40 m dari permukaan laut memiliki curah hujan 2.227 mm per tahun.
Sebagai alumni STPDN angkatan XIII, Santi harus menghadapi berbagai tantangan saat berdinas di wilayah tergolong rawan bencana, mulai dari tanah longsor, banjir di jalan nasional Lumbir, hingga kebakaran hutan saat musim kemarau.
Kondisi wilayah perbukitan ini dikenal sulit air namun mudah longsor saat hujan turun. Wilayah ini bergantung pada sungai Citanduy untuk kebutuhan airnya.
Selama dua tahun menjabat, ia mencatat tiga desa Cingebul, Besuki, dan Dermaji, selalu mengalami krisis air bersih di musim kemarau. Saat terjadi kebakaran hutan, ia tak segan turun langsung ke lokasi, kapan pun mendapatkan laporan.
“Saya tinggal di rumah dinas camat sendirian. Kalau ada bencana, harus segera ke lokasi. Suami saya hanya bisa menemani seminggu dua kali karena kesibukannya,” ungkap Santi.
Sebagai seorang perempuan, ia mengaku harus bersikap sigap layaknya laki-laki. “Di sini saya harus sat-set saat terjadi bencana. Apalagi Lumbir jauh dari pusat kabupaten, jadi kami mengandalkan masyarakat, relawan, dan Forkompimcam untuk penanganan pertama,” tuturnya.
Pengalaman lain unik pernah juga dialami BCL ini. Saat pulang pengajian di Grumbul Situnggul dan Sirongge yang berjarak 40 menit ke rumah dinas, ia harus melewati sepinya jalan karena ia selalu mengikuti pengajian hingga selesai.
“Dalam perjalanan berbagai kegiatan termasuk pengajian, saya sampai kekenyangan. Bagaimana berat badan bisa turun sedangkan saya ditawari makan dan medangan bisa sampai 9 kali oleh warga dalam waktu silih berganti hari itu juga,” ujar Santi sambil tertawa.
Meski seorang wanita, namun santi kerap harus tongkrongan sampai malam dengan bapak untuk menjaga keamanan wilayah. Apalagi saat pilkada kemarin, ia sudah merasa mewakili sebagai pria karena harus melek wengi (tidak tidur malam).
Dalam upayanya mengatasi kemiskinan, Santi menginisiasi program Gerimis Senja atau Gerakan Kolaborasi Terintegrasi Mengatasi Kemiskinan Secara Berkelanjutan. Program yang sudah berjalan dua tahun ini telah membantu warga miskin mendapatkan rumah layak huni, salah satunya melalui bantuan CSR Bumdesma Satria Mandiri LKD Lumbir.
Santi juga tengah membangun citra Lumbir sebagai sentra ternak kambing, yang digagas dari Desa Dermaji. Untuk mendukung program ini, ia mengadakan festival kambing tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban desa atas program ketahanan pangan melalui hibah kambing.
“Jadi festival kambing ini ibaratnya bagi desa sebagai bentuk laporan pertanggujawaban program ketahanan pangan lewat hibah kambing. Kerja bagi saya amanah dan harus dilaporkan ke masyarakat selain atasan saya,” ujar Santi.
Menjadi camat di Lumbir adalah pilihan yang tak terduga bagi Santi. Ia mendapat jabatan ini melalui proses lelang dan memilih Lumbir karena merasa memiliki ikatan dengan tanah leluhurnya. "Kesan pertama saat ke sana sering mual karena jalannya berkelak kelok menikung. Namun sekarang sudah menikmati,” kenangnya.
Bu Camat Gumelar Merasa Menemukan Keluarga Baru
Menjadi pemimpin di wilayah rawan bencana bukan perkara mudah, namun bagi Camat Gumelar, Diah Rapitasari, hal itu justru membawa kebahagiaan tersendiri. Ia merasa diterima dengan penuh kehangatan oleh masyarakatnya, yang tak hanya menyemangatinya dalam tugas, tetapi juga mendukung pemulihan kesehatannya.
“Saya sangat senang sekali bisa bertugas di sini. Sungguh masyarakat di sini sangat baik, saya seperti menemukan saudara dan keluarga baru lagi. Ini support masyarakat yang membuat pemulihan kesehatan saya menjadi lebih cepat,” ujar Pepy sapaan akrabnya dengan penuh haru.
Camat Gumelar, Diah Rapitasari. Foto: Ist
Meskipun kondisi fisiknya sempat terbatas akibat sakit, Pepy tetap bersemangat menjalankan tugasnya. Justru di tengah kesibukannya menghadapi ancaman bencana di wilayah Banyumas bagian barat, ia merasa semakin sehat dan kuat.
Kasih sayang warga terhadap camatnya begitu terasa. Mereka sering memberikan hasil panen seperti kelapa, pisang, telur rebus, labu, dan singkong setiap kali Pepy berkunjung ke desa mereka. Bahkan, doa untuk kesembuhannya selalu diselipkan dalam acara hajatan warga.
“Saya merasa sangat beruntung bisa bertugas di sini. Kecintaan masyarakatnya inilah yang membuat pemulihan sakit saya jadi lebih cepat. Kerja di sini menjadi tour of duty yang menyenangkan,” ujar Alumni STPDN angkatan XIV ini.
Dari 10 desa di wilayah kerjanya, data BPBD menunjukkan hampir semua desa di wilayah ini rawan bencana longsor dan periodik banjir 5 tahunan. Berdinas di wilayah Banyumas bagian barat dengan kondisi semua desa rawan bencana tak membuat ia yang akrab dipanggil BCG atau Bu Camat Gumelar ini patah arang. Meski awalnya ia tidak tahu wilayahnya, namun kini ia bisa memahami kondisi wilayahnya dan masyarakat bisa menerimanya. Ia mengaku bekerja sambil refreshing, menikmati perjalanan tugas sebagai penghibur hati ditengah masyarakat baru yang semedulur.
“Saya menganggap ini sebagai Kawah Candradimuka, tempat menempa diri untuk tugas-tugas saya di pemerintahan ke depan,” katanya penuh semangat.
Sebagai camat wanita, ia tidak mau kalah dengan camat laki laki. Prestasipun berhasil diraih di eranya seperti Juara 1 penanganan gratifikasi tingkat kabupaten. Ia mengatakan jika pemberian masyarakat dikelola dan dikembalikan kepada masyarakat melalui pemberian kepada korban bencana dan stunting kepada unit pengelola gratifikasi kecamatan.
Selain itu, kearsipan Kecamatan Gumelar dinilai diposisi 4 terbaik di Kabupaten Banyumas setalah diperingkat ke 2 dari bawah. Uniknya, wilayah ini juga menjadi contoh untuk pembayaran PBB.
Di sini sudah tradisi 100 persen warga membayar lunas PBB sebelum jatuh tempo, dan ini tidak terdapat didaerah lain. Namun tentunya tantangan bertugas di wilayah bencana ini membuat Pepy harus saling bahu membahu dengan masyarakat dan Forkompimcam.
“Meski saya perempuan, saya harus turun langsung ke lapangan untuk melihat lokasi bencana agar tahu keadaan masyarakat yang terkena bencana secara langsung ataupun bersama rekan di Kecamatan Gumelar. Dari sinilah saya nanti bisa meminta akses ke pihak terkait di kabupaten agar segera ditangani,” kata Pepy.
Tak dipungkiri, sebagai camat wanita termuda, BCG terus menimba kepada seniornya seperti kepada Ika Camat tambak, Santi Camat Lumbir. “Saya terus berkomunikasi dan minta bimbingan pada senior-senior saya. Insya Alloh bagi saya bekerja adalah amanah yang harus saya emban untuk kepentingan masyarakat. Semoga ini menjadi ladang amal ibadah saya dan keluarga,” tutup Pepy.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait