“Intinya adalah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang hidup dan beraktivitas di dalam kawasan hutan. Ini bukan untuk memperuntukkan lahan hutan, tapi sebagai bentuk amnesti agar masyarakat bisa mengakses bantuan keuangan dan menjalankan usaha legal dengan status lahan yang jelas,” jelasnya.
Lebih lanjut, Pemkab Banyumas juga telah mengajukan anggaran untuk pembangunan infrastruktur penunjang seperti akses jalan yang mendukung kegiatan ekonomi warga di kawasan sekitar hutan. Hal ini bertujuan untuk membuka konektivitas wilayah dan memacu pertumbuhan desa berbasis kehutanan sosial.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BPKH Wilayah XI Ir. Moech Firman Fahada memaparkan bahwa penataan batas kawasan hutan akan dimulai pada minggu ketiga bulan Mei dan direncanakan selesai pada Juli 2025. Penataan ini penting untuk menghindari tumpang tindih klaim dan mendukung kejelasan administrasi pertanahan.
“Tata batas ini sangat penting untuk memperoleh kepastian posisi, luas, dan letak suatu bidang tanah. Banyak kasus seperti di Desa Kemawi, di mana masyarakat ingin mengikuti program PTSL namun sebagian tanahnya masuk kawasan hutan, sehingga perlu pendampingan dan penataan batas yang jelas,” paparnya.
Adapun kegiatan ini akan menyasar 14 desa di 8 kecamatan, yakni Ajibarang, Baturaden, Cilongok, Gumelar, Lumbir, Patikraja, Purwojati, dan Sumpiuh.
Pemerintah Kabupaten Banyumas berharap, melalui implementasi PPTPKH, masyarakat yang selama ini hidup dan beraktivitas di dalam atau sekitar kawasan hutan dapat memperoleh kepastian hukum serta akses terhadap program-program pemberdayaan. Termasuk potensi integrasi dengan Perhutanan Sosial, Program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria), dan akses pembiayaan usaha mikro.
Langkah ini juga menjadi bagian dari upaya nasional dalam mencapai target satu peta kehutanan nasional (One Map Policy) yang akurat, adil, dan akuntabel, sehingga pengelolaan hutan dapat dilakukan secara lestari dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait