PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id-GOR Satria Purwokerto menjadi pusat perhatian ribuan pasang mata saat puncak pergelaran Banyumas Lengger Bicara 2025 digelar meriah pada pada Minggu (22/6/2025) malam.
Agenda tahunan ini menampilkan sendratari kolosal bertajuk Satria Swarna Banyumas, dengan melibatkan 500 penari dari berbagai sanggar di Kabupaten Banyumas.
Tarian tersebut tak hanya menjadi hiburan visual yang memikat, melainkan juga bentuk penghormatan kepada tokoh-tokoh seni lokal, seperti sastrawan Ahmad Tohari dan maestro lengger lanang Riyanto.
Pementasan ini membawa pesan kuat tentang pentingnya pelestarian budaya sekaligus regenerasi nilai-nilai tradisi yang tumbuh dari masyarakat Banyumas.
Dukungan pun datang dari pemerintah pusat. Kementerian Kebudayaan RI melalui Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi mengapresiasi penyelenggaraan acara ini. Dirjen Restu Gunawan menilai, lengger bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan energi budaya yang membangkitkan kreativitas dan semangat masyarakat.
“Melestarikan lengger artinya merawat kekuatan yang berasal dari akar budaya Banyumas,” ujar Restu.
Ia juga menyoroti sinergi yang terbangun antara seniman, pemerintah daerah, sektor swasta, dan tokoh masyarakat seperti Andy F. Noya dan Riyanto. Menurutnya, kolaborasi ini menjadi contoh konkret bagaimana budaya bisa tumbuh melalui semangat gotong royong.
“Kita perlu mengubah cara pandang bahwa budaya itu beban biaya. Justru budaya adalah investasi yang mampu mendatangkan nilai ekonomi dan memperkuat karakter bangsa,” tegasnya.
Restu berharap pola kolaboratif seperti ini dapat menjadi model pembangunan berbasis budaya bagi daerah lain. Baginya, budaya tidak hanya menghadirkan tontonan, tetapi juga menjadi tuntunan yang memberi arah bagi pembangunan karakter dan jati diri masyarakat.
Ketua Panitia Banyumas Lengger Bicara 2025, Dewi Anggyaning Tyas, menegaskan bahwa kegiatan ini ditujukan untuk menanamkan kecintaan terhadap seni tradisional, khususnya kepada generasi muda.
“Kami ingin terus menularkan semangat budaya lengger kepada anak-anak muda,” katanya.
Para penari kolosal tampil. (Foto: iNewsPurwokerto)
Selain pertunjukan utama, acara ini juga menampilkan drama tari musikal yang mengangkat kisah Srinthil, tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Tak kalah menarik, segmen Mahakarya Nusantara turut menghadirkan 100 anak dari Banyumas yang membawakan berbagai tarian dari penjuru nusantara.
Dalam rangka menghargai kontribusi seniman daerah, panitia juga menggelar sesi Tribute to Maestro untuk memberi penghormatan kepada tiga tokoh penting: Ahmad Tohari sebagai sastrawan, Narsih sebagai ikon lengger legendaris, dan R. Soetedja sebagai maestro musik Banyumas.
Sementara Koordinator acara, Bagoes Satrio, mengungkapkan bahwa jumlah penari laki-laki masih sangat minim. Dari 500 penari utama, hanya 28 orang yang berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, untuk kelompok anak-anak usia di bawah 11 tahun, hanya empat anak laki-laki yang lolos proses kurasi.
“Di daerah seperti Solo dan Yogyakarta, mencari penari laki-laki relatif mudah. Tapi di Banyumas, ini masih menjadi tantangan besar. Padahal kehadiran penari laki-laki penting untuk menciptakan keseimbangan dalam pertunjukan.”
Bagoes berharap masyarakat dapat lebih terbuka bahwa dunia tari juga membutuhkan keterlibatan laki-laki. “Laki-laki juga punya peran besar dalam memperkaya karya tari,” ujarnya.
Sementara itu, Pembina Yayasan Lengger Bicara Banyumas, Andy F. Noya, menjelaskan bahwa pergelaran ini juga menjadi bagian dari peringatan Hari Lengger Sedunia yang jatuh setiap 22 Juni. Tanggal tersebut ditetapkan sejak gelaran Banyumas 10.000 Lengger Bicara tahun lalu yang mencetak rekor MURI ke-11.687 dengan melibatkan 10.245 penari.
“Kami ingin semua orang tahu, bahwa setiap 22 Juni, Banyumas akan terus berbicara lewat lengger dan pergelaran budaya,” tutup Andy.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait