“Ya nggak mesti, Mas. Lagi mandan (agak) berkurang. Kadang Rp 20 ribu, kadang Rp 50 ribu, kadang malah Rp 15 ribu,” terangnya tentang pendapatan bersih dalam sehari pada iNewsPurwokerto.id, Sabtu (11/6/2022) kemarin.
Seperti biasanya, Hendro terkadang berangkat pagi atau bahkan terkadang sore hari. Entah terkadang karena ada pekerjaan rumah, atau jadwal yang rancu membuatnya berjualan secara tak tentu. Kendati demikian, Hendro tetap melakukannya dan mengaku bahwa yang penting baginya adalah ada sesuatu yang ia kerjakan.
“Nggak mesti berangkatnya, bisa berangkat pagi, bisa berangkat sore. Ya nggak mesti, kadang jam 8 pulang jam 10, berangkat jam 5 sore pulang jam 8 malam. Ada yang jahil, ya nggak mesti itu, saya nggak tahu-menahu, kaya dingel-ngeli (dipersulit). Misal, sudah berangkat pagi, tapi diulur-ulur. Yang jelas kalo berangkat pagi, paginya itu diberi dagangan, siangnya dijual, besok paginya setor,” ceritanya lirih.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin istilah itu bisa menggambarkan keadaan Hendro. Bagaimana tidak, ketidakpastian yang ia hadapi dalam berjualan koran, belum lagi pendapatannya yang tidak seberapa, dan semua itu masih ditambah kerasnya kehidupan di jallanan dengan praktik premanisme yang ia alami. Hendro mengaku bahwa sempat ada orang yang meminta uang padanya. Meski pendapatannya hanya cukup, Hendro terkadap tetap memberikannya dan menurutnya itu menjadi bagian dalam sedekah.
“Ya sering, biasa lah orang lewat minta uang, saya kasih Rp 2000 atau Rp 4000. Kalau nggak dikasih, paling saya dihus-hus gitu, diusir. Suruh jangan di sini,” katanya sembari melempar sedikit tawa.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait