JAKARTA,iNews.id - PSK online atau wanita open booking online (BO) terus menebar pesona melalui jejaring media sosial demi menjaring pria hidung belang.
Apalagi di masa pandemi Covid-19 bisnis esek-esek ini malah makin masif lantaran pekerja seks atau PSK online dan pengguna jasanya tidak bisa dipidana.
Dalam prostitusi online selama ini dikelola sendiri oleh seseorang dengan pelanggannya. Dalam hukum pidana umum, persoalan prostitusi diatur hanya dalam satu pasal yaitu Pasal 298 KUHP.
"Pasal ini melarang siapa saja yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan dan mengambil keuntungan atas kegiatan cabul yang dilakukan orang lain dengan ancaman pidana maksimal 1 tahun 4 bulan," kata Psikolog Klinis dan Forensik Kasandra Putranto.
Pasal ini ditafsirkan oleh ahli hukum pidana Indonesia sebagai pasal yang mengancam pidana germo, mucikari atau pemilik dan atau pengelola rumah bordir.
"Sebuah perbuatan prostitusi antara si pelacur atau PSK dengan pelanggannya bukanlah tindak pidana menurut KUHP Indonesia, sehingga segala bentuk kegiatan prostitusi yang dikelola sendiri oleh seseorang dengan pelanggannya tidak bisa dikategorikan sebagai delik yang diancam dengan hukuman termasuk juga pelacuran online yang dikelolanya sendiri dengan pelanggan," ujar Kasandra, Kamis (14/10/2021).
Dia mengungkapkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu UU No 11 Tahun 2008 juga tidak memberikan ancaman pidana atas sebuah tindakan pelacuran online yang dikelola oleh pelaku prostitusi kepada pelanggannya.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE memberikan ancaman hanya pada perbuatan yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan.
Informasi elektronik yang melanggar kesusilaan menurut tafsir dari ilmuwan hukum pidana di antaranya berupa gambar, video, percakapan, animasi, sketsa yang mengandung konten kecabulan, persetubuhan, kekerasan seksual, serta alat kelamin.
"Objek perbuatan kesusilaan ini pun harus yang disebarluaskan ke publik melalui media elektronik (email, media sosial, atau layanan pesan singkat). Mengacu ketentuan UU ITE, jika perbuatan yang dilakukan berisi pesan untuk melacurkan dirinya tetapi tidak disebarluaskan ke publik maka tidak memenuhi unsur dari pasal 27 ayat 1 UU ITE," jelas Kasandra.
Lalu bagaimana dengan pelanggan PSK online? Dia menilai KUHP tidak mempersoalkan pelanggan yang membeli seks pada sebuah kegiatan prostitusi.
Ini menunjukkan pria hidung belang pada sebuah kegiatan prostitusi bukanlah sebuah delik atau perbuatan melawan hukum, kecuali jika yang dibeli adalah anak-anak yang belum berusia 18 tahun.
Bila berhubungan intim dengan anak di bawah umur, maka perbuatan ini bisa diancam dengan UU Perlindungan Anak (UU No 23 Tahun 2002 junto UU No 35 Tahun 2014).
Demikian juga jika pembeli seks adalah laki-laki atau perempuan yang telah bersuami/beristri, maka bisa dikenakan delik zina sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 9 bulan.
Namun, delik zina ini adalah delik aduan sehingga harus ada pengaduan dari pasangan yang sah yaitu suami atau istri si pelaku zina.
Jika tidak ada pengaduan, maka pembeli seks tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP. Dengan demikian, pembeli seks tidak bisa dipidana jika tidak memenuhi kualifikasi yang disebutkan di atas, sama halnya juga dengan PSK online yang tidak bisa dipidana.
Posisi mereka hanyalah sebagai saksi, itu pun jika prostitusi itu melibatkan germo atau mucikari atau pihak lain yang mendapatkan keuntungan atas berlangsungnya transaksi seksual.
"Dalam konteks prostitusi online, bila PSK tersebut bukan seorang mucikari atau orang yang mendapatkan keuntungan atas sebuah kegiatan prostitusi maka tentu saja tidak bisa dinyatakan perbuatannya sebagai sebuah delik atau perbuatan pidana. KUHP maupun UU ITE tidak bisa menjeratnya," ujar Kasandra.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta