Ia dilantik sebagai Gubernur DKI oleh Presiden Soekarno pada tanggal 28 April 1966. Selama sebelas tahun (19661977), ia berupaya memoles Jakarta dengan kreativitas yang tinggi dan sikap yang tegas.
Sejak awal menjabat Gubernur DKI, Ali secara intensif blusukan alias keluyuran ke semua penjuru kota, menjelajahi jalanan dan gang-gang kumuh. Ia mendatangi pedagang di pinggir jalan, pengemis, dan penghuni gubuk-gubuk liar. "Saya merasakan kehinaan jutaan orang yang terpaksa mandi, cuci mulut, dan cuci pakaian di sungai-sungai terbuka," tutur Bang Ali.
Jakarta pada masa itu amat kumuh. Pasar yang becek, jalanan berlubang setinggi lutut, serta timbunan sampah ada di mana-mana. Sistem angkutan kota runyam, gedung sekolah bobrok, dan fasilitas mandi cuci kakus tanpa air tersebar di mana-mana. Begitu buruknya situasi Jakarta sehingga para diplomat asing menyebutnya sarang wabah disentri. Saling curiga di antara lapisan masyarakat juga belum surut menyusul tragedi 30 September 1965.
Birokrasi seolah lumpuh di segala lini. Sementara itu, inflasi mencapai 600%, urbanisasi tak terbendung, pengangguran dan kriminalitas merajalela. Pemerintah DKI hanya punya dana Rp66 juta untuk mengelola kota yang saat itu berpenduduk 4,6 juta jiwa. Ali Sadikin tidak putus asa.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta