BAGI warga Purwokerto dan Banyumas, tidak terlalu asing dengan nama Singadipa. Dia adalah salah satu tokoh di Kabupaten Banyumas yang lahir tahun 1800 dan meninggal tahun 1878 M. Dalam sejarahnya, Singadipa pernah bergabung dengan Pengeran Diponegoro pada tahun 1822 saat melawan Belanda.
Berdasarkan referensi dari berbagai sumber sejarah, salah satunya tulisan Fauzi Wahyu Hidayat dari UIN Saefuddin Zuhri, Purwokerto menyebutkan bahwa Singadipa masih sangat muda ketika bergabung dengan Diponegoro. Kalau dia lahir pada 1800, berarti pada waktu bergabung dengab Pangeran Diponegoro pada usia 22 tahun.
Singadipa disebut masih keturunan darah bangsawan dari kadipaten Pasirluhur. Ayahnya menjadi abdi di kerajaan Mataram, diangkat sebagai Lurah Prajurit oleh Diponegoro dalam perang melawan Belanda.
Singadipa yang sampai akhir hayat memiliki jiwa patriot dan kepahlawanan serta kesetiannya kepada bangsa dan negara patut diteladani pemimpin-pemimpin zaman sekarang.
Dalam literatur sejarah disebutkan, pada satu ketika Singadipamengumpulkan semua demang-demang yang ada di wilayah Ajibarang, para pemimpin atau nayaka praja juga putra-putrinya termasuk putra mantu.
Singadipa yang baru saja pulang dari Keraton Surakarta menghadap Kajeng Sinuwun Paku Buwono VI. Dia diperintahkan untuk menyampaikan berita bahwa setelah Sultan Hamengko Buwono IV wafat, di Kasultanan Yogyakarta sedang ada kemelut. Hal itu terjadi akibat kebijakan bangsa Belanda, Belanda mengangkat R.M. Menol menjadi Sultan di Yogyakarta.
Pengangkatan tersebut didukung oleh Patih Danureja yang diangkat dan memihak Belanda.
Pangeran Diponegoro dan saudara-saudaranya tidak setuju atas pengangkatan itu, dan lebih baik untuk sementara waktu tampuk pemerintahan diserahkan salah satu dari kerabat kraton yang memahami betul tentang tata negara dan tata pemerintahan.
Sikap seperti ini membuat kecurigaan pihak Belanda, sehingga dengan berbagai cara Belanda membuat masalah-masalah
agar terjadi konflik langsung dengan Pangeran Diponegoro.
Salah satunya ialah tanah-tanah milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo ditandai pembatas dengan alasan untuk membuat jalan umum, tanpa seizin dari pemiliknya.
Pangeran Diponegoro yang merasa dicurigai dan akan ditangkap lalu minta bantuan ke Paku Buwono VI di Surakarta. Susuhunan Paku Buwono VI mendengar pengaduan dari Pangeran Diponegoro setuju kalau Belanda harus disingkirkan karena akan membuat kerugian bagi kerabat kraton.
Selanjutnya Susuhunan Paku Buwono VI juga memerintahkan kepada seluruh Bupati mancanegara di tanah Jawa supaya membantu. Setiap Tumenggung atau Bupati diberi seorang Pangeran untuk menjadi pemimpin prajurit (manggalayuda) dan disertai ulama atau pemuka agama dari kraton.
Pangeran Diponegoro diwisuda Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirulminin Panotogomo Khalifatullah, siap untuk memimpin melawan Belanda dan mengusir dari Tanah Jawa.
Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda ini juga didukung oleh Sentot Alibasyah dan Kyai Mojo.
Ngabehi Singadipa yang juga termasuk Bupati mancanegara telah siap melaksanakan perintah junjungannya. Untuk itu Singadipa telah mengumpulkan seluruh Demang, para sentana dalem agar siaga menghadapi Belanda.
Prajurit Ajibarang supaya siap siaga,sewaktu-waktu akan dipanggil untuk melawan Belanda. Para prajurit juga siap untuk berjuang membela Pangeran Diponegoro.
Sementara pertemuan sedang berlangsung, di luar ada dua orang tamu berkuda, mereka adalah Pangeran Prawirokusumo dan Kyai Imam Misbah, mereka berdua adalah utusan dari Pangeran Diponegoro yang ditugaskan mengkoordinasikan pasukan yang ada di wilayah Banyumas dan membantu prajurit Ajibarang, Roma dan Kertanegara.
Kedua utusan itu dipersilahkan masuk dan setelah dijamu apa mestinya, Pangeran Prawirokusumo menyampaikan pesan dari Pangeran Diponegoro bahwa Singadipa supaya menjadi pemimpin (tetunggulung) prajurit di Ajibarang dengan jabatan sebagai Lurah Prajurit.
Selanjutnya untuk mengelabui Belanda, kepadanya agar menggunakan nama sandi Ki Ngabehi Singadipa. Disampaikan pula bahwa perang melawan Belanda sudah dimulai dan mereka sudah dapat membumi hanguskan wilayah Kedu dan Bagelen
juga rumah tinggal Pangeran
Diponegoro di Tegalrejo diserang dan dibakar. Pangeran Diponegoro dan keluarga serta para pendukung setianya kini mengungsi di Gua Selarong sekaligus untuk menyusun strategi penyerangan terhadap Belanda.
Singadipa setelah mendengar berita bahwa Pangeran Diponegoro sudah mengungsi dan rumah di Tegalrejo dibakar oleh Belanda, seketika timbul amarahnya. Lalu dengan berdiri Singadipa bersuara lantang kepada para prajurit :”Bocah prajurit Ajibarang ! kalian telah mendengar sendiri perintah dari Pangeran Diponegoro. Sekarang juga siagakan pasukan untuk berangkat ke tapal batas sebelah Timur.
Belanda jangan sampai masuk ke wilayah Banyumas apalagi merusak. Tumenggung Jayasinga atau Ki Ngabehi Singadipa memerintahkan putranya Ki Dipamenggala untuk tetap tinggal di tumenggungan menjaga keluarga, mengatur ketentraman para kawula, mengatur pertanian dan kirimkan ke Roma apabila musim panen tiba.
Ngabehi Singadipa, Pangeran Prawirokusumo dan Kyai Imam Misbah berunding mengatur perjalanan prajurit dan strategi pertempuran.
Dalam strategi itu diputuskan bahwa prajurit Banyumas dibagi tiga yakni prajurit Roma dipimpin oleh Tumenggung Mertawijaya supaya menjaga
batas Roma. Kemudian Ngabehi Ranawijaya di Kertanegara menjaga wates Kertanegara. Dan ketiga adalah prajurit Ajibarang menjaga di luar batas Banyumas dan menyerang pos-pos Belanda, Bivak atau Benteng serta upaya langsung menuju Purwonegoro, membuat pesanggrahan
Singadipa masih terus mengadakan perlawanan karena mendapatkan mandat langsung dari Pangeran Diponegoro perlawanan ini terjadi di Banyumas meski perlawanan tidak berlangsung lama namun prajurit yang tersisa untuk melakukan gerakan perang gerilya mampu merepotkan Belanda yang saat itu memperoleh bantuan dari pihak keraton Mataram karena terus tercecar dengan semakin sedikitnya prajurit Singadipa memilih mengatur strategi dengan hanya memberikan komando saja.
Singadipa berpindah tempat dari desa ke desa hingga akhir hayatnya.
Singadipa adalah satria terakhir dalam Perang Jawa yang hampir saja berhasil menang yang jika berhasil menang, maka Belanda tidak akan bisa bertahan lama berada di Nusantara.
Kyai Ngabehi Singadipa telah wafat pada tahun 1878 Masehi, namun kharomah akan ilmu ketatanegaraan dan derajat yang dimiliki masih menjadi panutan orang-orang yang masih hidup setelahnya. Kondisi tersebut menyebabkan makam Eyang Singadipa sampai saat ini masih sering dikunjungi orang-orang untuk berziarah.
Editor : EldeJoyosemito