get app
inews
Aa Read Next : Menikmati Tempe Mendoan untuk Takjil Buka Puasa Ramadhan, Ini Resep dan Cara Membuatnya

Begini Proses Pembuatan Gula Jawa Organik Secara Tradisional Di Banyumas

Senin, 29 November 2021 | 12:13 WIB
header img
Gula Jawa atau gula kelapa, gula yang berwarna merah ini biasa digunakan masyarakat Indonesia sebagai bahan campuran masakan. (Foto: Featsoffeasts).

BANYUMAS, iNews.id - Gula Jawa atau gula kelapa, gula yang berwarna merah ini biasa digunakan masyarakat Indonesia sebagai bahan campuran masakan dan juga sebagai campuran es kelapa muda atau wedang jahe. Pengrajin gula Jawa merupakan industri rumah tangga yang cukup terkenal Di Banyumas, Jawa Tengah, salah satunya adalah di Kecamatan Cilongok. 

Sebagian besar warga di Desa tersebut merupakan pengrajin gula Jawa. Bahkan kerajinan pembuatan gula Jawa ini sudah dilakoni hingga turun temurun oleh warganya.

Di Desa Pageraji, dari jumlah total penduduknya yang mencapai sekitar 11.086 jiwa, sekitar 900-an jiwa warganya merupakan para pengrajin gula Jawa. Gula Jawa yang di produksi di Banyumas ini sudah terkenal asli manisnya, berwarna coklat dan keras, bahkan setelah lama disimpan. Namun, tidak mudah untuk membuat gula Jawa ini, proses panjang pengolahan gula Jawa ini cukup melelahkan.

Proses pengolahan gula Jawa ini diawali dengan proses penyadapan dari pohon kelapa yang dilakukan oleh seorang ‘Penderes’. Profesi penderes merupakan seorang dari lingkaran industri gula kelapa yang paling hulu, tugasnya adalah menyadap air nira dengan cara memanjat pohon kelapa, duduk diatas pelepah daun kelapa, mengambil wadah atau pongkor yang sudah terpasang sebelumnya. 

Kemudian menyayat bunga kelapa (Manggar) dengan sayatan baru agar keluar air niranya dan kembali memasang wadah kosong yang sebelumnya sudah di campur dengan air dari kulit manggis dan air kapur gamping untuk menampung air nira yang fungsinya jika gula sudah di cetak hasilnya menjadi keras dan tahan lama. 

Untuk memasangnya pun tidak sembarangan, agar pongkor yang telah terpasang tidak kemasukan air hujan. Proses penyadapan ini biasanya memakan waktu 24 jam, tetes demi setetes merupakan harapan bagi para penderes.

Menjadi penderes pun harus memiliki keahlian khusus, selain harus bisa memanjat pohon yang tingginya berkisar 15-30 meter tanpa pengaman apapun, penderes juga harus memahami karakteristik dari pohon kelapa sehingga dapat memilih bunga kelapa yang banyak mengandung nira. Rata-rata mereka harus menyadap 30-40 pohon kelapa, jadi dalam sehari mereka harus memanjat sekitar 60-80 kali.

“Ada 30 pohon yang saya sadap. Jadi dalam sehari 60 kali saya naik pohon kelapa pagi dan sore,” Kata Jazuli  (40), seorang penderes warga desa Pageraji, Minggu (29/11/2021).


Profesi penderes gula kelapa di Banyumas. (Foto : Aryo Rizqi)

Menurut dia, dari 30 pohon tersebut, air nira yang sudah diolah menjadi gula Jawa, dirinya bisa memperoleh hasil kurang lebih sekitar 10 kilogram gula Jawa. Gula tersebut akan dihargai oleh pengepul sekitar Rp 12.000 - Rp 12.400 ribu per kilogram.

Berarti Jazuli bisa mendapatkan uang sekitar Rp 120- Rp124 ribu rupiah. Tapi keuntungan tersebut belum dipotong biaya untuk kayu bakar. Bahkan jika musim hujan turun, dia juga mengaku pendapatannya menurun. Belum lagi resiko yang mengancam nyawa, seperti cacat atau meninggal akibat terjatuh dari pohon kelapa yang sering dialami para penderes gula kelapa ini.

“Kalau musim terang bisa mencapai 10 kilogram, tapi kalau musim hujan turun menjadi 8 kilogram, itu karena saat musim hujan kualitas nira menjadi turun akibat tercampur air hujan. Selain itu banyak pongkor yang tidak terpasang karena saat hujan pohon menjadi licin, selain itu keuntungan dari hasil gula jawa belum bersih karena harus dipotong biaya beli kayu bakar” ujarnya.

Di Banyumas, air nira untuk pembuatan gula Jawa yang sudah di sadap tersebut dinamakan ‘bandek’, warnanya putih keruh, air bandek tersebut dapat diminum langsung atau di fermentasikan menjadi tuak yang mengandung alkohol.

Sementara menurut Tursinah (40) seorang pengrajin gula Jawa mengatakan jika pengrajin gula Jawa yang saat ini dilakoninya sudah dilakukan sekitar 15 tahunan. Dia menekuni profesi ini karena sang suami merupakan seorang penderes kelapa dan sudah menjadi mata pencahariannya sehari-hari.

Dia menjelaskan proses pembuatan gula tersebut dilakukan setelah semua air bandek terkumpul, kemudian direbus diatas tungku tanah liat dengan menggunakan bahan bakar kayu dan merang. Setelah mendidih dalam proses perebusan, lama kelamaan air rebusan bandek akan mengental dan berubah menjadi kecoklatan.

“Lama memasak sekitar 3-4 jam, tergantung kadar airnya,” katanya.

Dia mengatakan, jika sudah cukup mengental, bandek diangkat dari tungku lalu di aduk terus hingga makin mengental dan siap di cetak. Setelah itu, cairan kental berwarna coklat ini pun dituang menggunakan gayung kedalam cetakan-cetakan kecil yang terbuat dari bamboo yang sebelumnya sudah disiapkan.

“Saat menuang adonan gula jawa harus cepat, jika tidak nantinya akan mengeras dan tidak bisa di cetak. Biasanya untuk melepas gula dari cetakan sekitar 10-15 menit,” ungkapnya.

Setelah gula jawa dilepas dari cetakan, batangan gula berwarna merah itu harus diangin anginkan terlebih dahulu sambil mencetak gula jawa selanjutnya yang dituangkan dari adonan. Setelah benar-benar kering dan keras, gula jawa siap di kemas dan di pasarkan.


Proses memasak air nira sebelum menjadi Gula Jawa (Foto : Aryo Rizqi)

“Biasanya nanti ada yang ngambil gulanya ke rumah. Kalau tidak kita yang mengantar ke pengepulnya dan biasanya dihargai sekitar Rp 12.000 - Rp 12.400 ribu per kilogram. Tapi harga itu selalu naik turun, tidak menentu,” ucapnya.

Dia mengungkapkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dirinya hanya mengandalkan pendapatan dari membuat gula Jawa. Dia sendiri mengaku tidak mempunyai banyak pohon kelapa, sehingga suaminya selalu bergantian menderes air nira kepada pemilik pohon per lima hari.

“Jadi perlima hari kita bagi bagi air nira dari pohon kelapa. Lima hari air nira ke suami saya yang menderes, lima hari kemudian air nira di berikan ke pemilik pohon, jadi sama –sama untung, saya bisa buat gula, pemilik pohon juga bisa buat gula,” ungkapnya.

Namun, saat ini dia sangat menyesalkan dengan banyaknya pengerajin gula jawa yang sudah tidak jujur, diantara mereka banyak yang hanya mencari keuntungan semata tapi tidak melihat bahaya dari sesuatu yang dilakukannya tersebut, dia mencontohkan, banyak diantara para pembuat gula yang mencampurkan obat kedalam proses pembuatan gula Jawa, gunanya agar gula Jawa yang nantinya akan dijual hasilnya bagus, dan coklat cerah.

“Makanya para pengrajin disini tahu mana gula Jawa yang pakai obat dan mana yang asli. Yang asli itu gulanya biasa saja tidak terlalu mencolok warnanya,” ujarnya.

Para pengrajin di desa tersebut biasanya menggunakan kulit manggis dan air kapur dari batu gamping yang dituangkan ke pongkor saat akan menyadap nira. Itu fungsinya untuk mengeraskan gula Jawa dan mengawetkannya secara alami, bukan dengan menggantikannya dengan obat-obatan.

 

Editor : Aryo Arbi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut