Ia pun kini dapat berbangga, di kala musim kemarau tiba, lahan persawahannya masih bisa digarap untuk menanam padi dan sebagian untuk palawija atau holtikultura. Dari sebelumnya hanya dua kali panen, kini ia bisa panen hingga tiga kali.
"Jadi pas musim kemarau biasanya tidak ditanami, tapi sekarang saya masih bisa menanam cabai, kangkung, sawi dan terong. Saya juga bisa memanfaatkan waktu (kemarau) itu, di saat yang lain nganggur, saya masih bisa beroperasi dan mendapatkan rupiah yang lumayan, dua bulan sekitar Rp2 juta," ungkapnya.
Bukan hanya dirinya, sekitar 7-10 petani yang lahannya berada di area dekat PLTS ini juga dapat memanfaatkan air ini secara bergiliran. Dia berharap, pompa air berbasis SHS ini dapat ditambah agar dapat menjangkau lebih jauh lahan tadah hujan yang selama ini mengandalkan pompa diesel berbahan bakar minyak.
"7-10 petani masih bisa memanfaatkan secara bergiliran karena kapasitasnya terbatas. Tapi untuk pengolahan tanah tetap harus dibantu dengan pompa air (Pompa Diesel), tapi pas lagi musim penyiangan, musim perawatan tanah dan musim pemupukan itu bisa menggunakan ini, jadi mereka bisa merasakan lebih hemat. Sebenarnya kami masih butuh sekitar 4 alat lagi untuk mengairi area sawah tadah hujan," ujarnya.
Petani Cilacap menunjukkan panen padi hasil bantuan pembangkit listrik tenaga surya. Foto: Arbi Anugrah/ iNewsPurwokerto.id
Dosen Politeknik Negeri Cilacap, Afrizal Abdi Musyafiq menilai keberadaan energi baru terbarukan (EBT) dengan memanfaatkan Solar Home System sangat membantu petani yang wilayahnya merupakan sawah tadah hujan. Di mana setiap musim kemarau tiba, para petani tidak dapat menggarap lahan tersebut, sehingga sepi dari aktivitas bertani.
Afrizal yang juga Ketua Tim Program Pertamina Foundation Sains ini mengungkapkan, pompa listrik tenaga surya ini menjadi solusi para petani di tengah tingginya harga BBM yang secara ekonomi setara dengan harga beras premium. Selain ramah lingkungan, sistem ini juga memiliki dampak yang sangat luas bagi petani dan hasil panen yang dijual guna kebutuhan masyarakat Indonesia.
"Air bagi petani adalah jodoh untuk melanjutkan pekerjaan, jadi akan bagus sekali ketika petani menemukan jodohnya di saat kemarau. Padahal kita di negeri yang cerita air saja susah itu tidak mungkin. Akhirnya SHS ini masuk ke ranah permasalahan air yang ada di bawah tanah, kita tinggal mengangkatnya dan itu butuh energi. Dan energi yang saat ini bisa terjangkau ya hanya panel surya saja. Karena secara keilmuan kami dari berbagai riset perhitungan antara kelayakan teknik dan kelayakan ekonominya itu masuk," ucapnya.
Dia mengungkapkan, secara umum cara kerja panel surya selalu sama pada umumnya, maka bukan inovasi dari teknologi yang diangkat, tapi inovasi sosial, mengenalkan teknologi kekinian yang sedang populer di berbagai belahan dunia untuk mengurangi dampak lingkungan dan diterapkan pada sistem pertanian di Indonesia. Di mana sistem ini masuk ke petani di desa-desa untuk mengggunakan teknologi yang dapat meringankan pekerjaannya.
Petani di Cilacap bertani dengan bantuan pembangkit listrik tenaga surya. Foto: Arbi Anugrah
"Impact yang didapat bisa mengurangi biaya operasional untuk pengairan. Perhitungan saya bisa sampai 50 persen. Jadi setiap luas 2.100 meter persegi itu dalam satu tahun yang berarti dua kali musim tanam, itu mencapai 3 jutaan, itu harga BBM sebelum naik, kalau sekarang mungkin diatas itu. Dengan sistem kami dan budget biaya yang kami ajukan itu hanya butuh 4 tahun 8 bulan, itu sudah balik modal istilahnya," jelasnya.
Dengan tiga lembar panel surya akan menghasilkan daya sekitar 330 watt yang masuk ke inverter sebesar 1.500 watt serta menyimpan ke dalam dua baterai yang dapat bertahan 7-8 tahun. Dalam baterai tersebut nantinya bisa digunakan untuk memompa air maksimal hingga 8-10 jam atau sekitar 20 meter kubik air tanah yang akan dihasilkan untuk mengairi sawah.
Editor : Alfiatin