PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id - Dalam keseharian, bahasa ibu masyarakat Banyumas adalah Jawa, tetapi dengan lafal “ngapak”. Ini yang membedakan dengan pengucapan bahasa Jawa di Yogyakarta atau Solo. Biasanya, orang Banyumas menyebut orang Jogja dan Solo dengan istilah “bandek”.
Lalu mengapa kalau di Banyumas adalah bahasa ngapak menyebutkan kalau ibukota Banyumas adalah Purwokerto, bukan Purwakerta?
Berikut penelusuran iNewsPurwokerto mengenai alasan mengapa Purwokerto bukan Purwakerta. Data diambil dari jurnal ilmiah berjudul Sejarah Kota Purwokerto. Tulisan ilmiah itu merupakan karya dari Guru Besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Prof Sugeng Priyadi.
Dalam paparannya, Purwokerto berasal dari dua kata yakni “Purwo” dan “Kerta”.
Purwo merupakan bahasa Jawa kuno yang berarti permulaan, bagian depan, lebih dahulu dan sebagainya.
Sedangkan “Kerta” yang juga berasal dari bahasa Jawa kuno memiliki arti yang dilaksanakan, dibuat, diselenggarakan, sedang berkembang dan sebagainya.
Dari gabungan dua kata tersebut, kata Purwokerto memiliki arti disusun pada waktu permulaan. Sedangkan secara etimologis, penyebutan atau bacaan yang tepat untuk kota Purwokerto sebenarnya adalah Purwakerta atau Purwakarta.
Ada alasan mengapa kemudian munculnya adalah Purwokerto, bukan Purwakerta atau Purwokerta. Menurut Prof Sugeng dalam tulisannya,”itu merupakan kecelakaan dan keterpaksaan sejarah, karena terdapat sebuah kota di Jawa Barat dengan nama yang sama yakni Purwakarta.”
Kemudian Prof Sugeng menyampaikan bahwa asal muasal nama Purwokerto, setidaknya ada dua versi. Dua versi tersebut adalah:
1. Perpaduan dua tempat bersejarah
Penamaan Purwokerto diambil dari perpaduan dua nama tempat bersejarah di Purwokerto Dua tempat bersejarah itu adalah ibu kota Pasir (Kertawibawa) dan kerajaan di tepi Sungai Serayu (Purwacarita).
Menariknya, bagi warga pedesaan Banyumas di sebelah selatan Serayu, kata Purwakerta lebih akrab dibaca Puraketa, Praketa, atau Prakerta.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebutan nama Purwokerto sebenarnya merupakan sebuah kecelakaan dan keterpaksaan, karena terdapat pula nama sebuah kota di Jawa Barat (Purwakarta). Walau demikian, perihal penyebutan tersebut tidak akan mengubah fakta sejarah bahwa kota Purwokerto itu sendiri.
Kota lama Purwokerto berada di sebelah utara Pasar Wage. Waktu itu, kediaman bupati berada di bangunan yang sekarang menjadi Kelenteng.
Sementara, ketika itu Pasar Wage adalah alun-alunnya. Sebelah barat Alun-alun terdapat masjid dan kauman lama.
Cerita tutur yang mendekati kepastian muncul saat ibu kota Kabupaten Ajibarang dipindahkan ke Desa Paguwon pada tahun 1832 karena Ajibarang diterpa angin topan selama 40 hari 40 malam.
2. Penamaan seorang tokoh
Legenda penamaan Purwokerto salah satu versi lainnya berasal dari seorang tokoh pendatang. Dia bernama Kiai Kartisara. Ia merupakan tokoh Geger Pecina di Kartasura. Kartisara mengusulkan nama Purwakerta. Kartisara sendiri memiliki seorang putra bernama Kendang Gemulung yang memiliki peguron atau tempat berguru. Seiring dengan waktu peguron berubah menjadi Peguwon.
Tetapi, Prof Sugeng Priyadi menilai mengatakan bahwa penafsiran legenda tersebut kurang memahami bahwa di Banyumas terdapat kerajaan bawahan Majapahit. Kerajaan bawahan Majapahit bernama Paguwan atau Peguwon. Dalam teks-teks Babad Banyumas disebut Kadipaten Wirasaba.
Penamaan Purwokerto diambil dari peninggalan sejarah berupa gugusan batu yang diberi nama “Makam Astana Dhuwur Mbah Karta” di Arcawinangun, Kecamatan Purwokerto Timur. Gugusan batu itu merupakan reruntuhan bangunan candi yang dimanfaatkan untuk pembangunan bendungan Sungai Pelus.
Peninggalan tersebut merupakan peninggalan dari Kerajaan Pasirluhur. Kata Karta berasal dari Mbah Kerta atau sesungguhnya Karti yang menunjuk pada Kiai Kartisura.
Editor : EldeJoyosemito