JAKARTA, iNews.id - Beberapa hari terakhir masyarakat Indonesia digegerkan dengan beberapa kasus tindakan asusila yang pelakunya merupakan guru agama. Belum selesai kasus 12 santriwati mengalami pelecehan seksual oleh oknum guru di pesantren Kota Bandung, Jawa Barat, muncul juga oknum guru agama yang mencabuli 14 siswi Sekolah Dasar (SD) di Cilacap, Jawa Tengah.
Menyikapi hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menyetujui jika hukuman kebiri diterapkan bagi oknum guru pesantren di kota Bandung yang melakukan pelecehan seksual ke 12 santriwati. Hukuman ini pun dianggap pantas karena pelaku telah melakukan pelecehan seksual 5 tahun.
Pelaku yang merupakan guru korban di pondok pesantren tempat korban dititipkan dianggap sebagai orang terdekat korban sehingga hukuman bagi pelaku bisa dijatuhi hukuman tambahan berupa kebiri karena kekerasan seksual kemungkinan dilakukan berkali-kali hingga 9 korban diketahui mengalami kehamilan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 ada Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Melansir The Sun, kebiri kimia adalah penggunaan obat-obatan 'anafrodisiak' dengan tujuan untuk menurunkan hasrat seksual dan libido. Treament obat-obatan ini dilakukan minimal selama tiga sampai lima tahun.
Sesuai dengan namanya, kebiri kimia berbeda dengan kebiri bedah yang melibatkan pengangkatan alat kelamin sehingga menimbulkan efek permanen. Efek dari kebiri kimia tidak lagi efektif bila pemberian obat-obatan anafrodisiak dihentikan, sehingga harus dilakukan terus menerus.
Salah satu obat yang digunakan untuk proses kebiri kimia adalah leuprorelin. Obat ini diklaim dapat mengatasi kesulitan dalam mengendalikan gairah seksual, fantasi, atau dorongan seksual yang menggangu seperti sadism dan kencenderungan "berbahaya" lainnya.
Dijelaskan oleh Spesialis Urologi Prof Dr dr Akmal Taher, SpU(K), dampak yang dialami dari seseorang yang dikebiri akan kehilangan hasrat sensualnya. Pelaku kejahatan seksual akan mengalami susah ereksi hingga dampak yang lain.
Mereka yang dikebiri, diharapkan tidak menjadi agresif, dengan menurunkan kadar testosteronnya. Prof Akmal menjelaskan, kebiri kimia dilakukan dengan cara menyuntikkan zat kimia anti-androgen ke bagian tubuh. Akan tetapi dampaknya tidak permanen alias seumur hidup.
Prof Akmal menambahkan, kebiri kimia ini dilakukan agar produksi hormon testosteron seseorang berkurang, sehingga gairah seksualnya menjadi tidak agresif
Staf Khusus Menteri Bidang Peningkatan Pelayanan Kesehatan itu menambahkan, tujuan dari kebiri kimia ini dilakukan agar sang predator seks mengalami penurunan kadar testoteron. Jika berkurang, pasti fungsi seksualnya akan tidak normal.
Editor : Arbi Anugrah