get app
inews
Aa Read Next : 10 Tahun di Luar Angkasa, Drone Misterius Bertenaga Surya Mendarat di Bumi

Agar Manusia Bisa Jelajah Luar Angkasa dalam Waktu Lama, Ilmuwan Buat Saklar Otak 

Rabu, 11 Januari 2023 | 12:20 WIB
header img
Para ilmuwan dari Shenzhen Institute of Advanced Technology (SIAT) membuat saklar otak. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Bagaimana agar manusia mampu menjelajah luar angkasa dalam waktu lama? Nah, para ilmuwan dari Shenzhen Institute of Advanced Technology (SIAT) membuat saklar otak.

Saat ini, para ilmuwan tersebut sedang berinovasi menciptakan sebuah saklar otak. Tujuannya supaya bisa diaktifkan, sehingga manusia dapat hibernasi selama petualangan di luar angkasa. 

Science Alert memberikan informasi bahwa petualangan luar angkasa membutuhkan waktu yang lama. Karena luar angkasa sangat besar sedangkan teknologi yang dimiliki manusia sangat terbatas. 

Sehingga manusia butuh waktu yang sangat lama untuk sampai ke ujung luar angkasa. Sebagai contoh, pesawat luar angkasa Voyager 1 butuh waktu 73.000 tahun untuk mencapai Proxima Centauri atau bintang terdekat dengan matahari. Voyager 1 diketahui diterbangkan ke luar angkasa pada 40 tahun lalu. 

Voyager 1 inilah satu-satunya pesawat luar angkasa buatan manusia yang terjauh dalam menjelajah luar angkasa. Saat sekarang pesawat Voyager 1 diperkirakan telah melewati Pluto. 

Dengan fakta semacam itu, menjelajah luar angkasa butuh perjuangan yang sangat besar buat manusia. Salah satunya kemampuan manusia dalam bertahan hidup ketika menjalani petualangan tersebut. Hal itulah yang membuat para ilmuwan di SIAT tertarik untuk mencari solusi agar penjelajahan luar angkasa bisa dilakukan sejauh mungkin. 

Salah satu caranya adalah dengan hibernasi. Proses hibernasi, yang juga dikenal sebagai mati suri, adalah keadaan fisiologis yang memungkinkan hewan bertahan dari kondisi buruk. Misalnya cuaca dingin yang ekstrem dan oksigen yang rendah.

Ketika hibernasi, temperatur di badan akan sangat rendah. Begitu juga dengan metabolisme tubuh yang berjalan pelan. Hal itu membuat tubuh berada dalam mode pemeliharaan. Tujuannya supaya tetap hidup sambil mencegah terjadinya atrofi. 

Namun, secara alamiah hibernasi hanya bisa ditemukan di beberapa hewan-hewan berdarah panas dan sebagian mamalia. Namun tidak ada pada primata. Apalagi pada manusia. 

Proses hibernasi itulah yang kemudian ingin diterapkan para ilmuwan di SIAT untuk manusia. Dengan begitu, harapannya manusia dapat menjelajah luar angkasa. Namun manusia sangat berbeda dengan hewan yang mampu hibernasi. 

Mereka kemudian mencoba memasang sebuah saklar di bagian preoptik hipotalamus yang bisa mengaktifkan kondisi hibernasi. Saat ini metode itu mereka sudah coba kepada tiga ekor monyet penelitian. 

"Di sini, kami menunjukkan bahwa mengaktifkan subpopulasi neuron area preoptik (POA) dengan strategi chemogenetic secara andal menginduksi hipotermia pada kera yang dibius. Dalam keadaan itu mereka masih bisa bergerak bebas,”demikian pernyataan para penliti.

Selain itu, ilmuwan menerapkan obat yang dirancang untuk mengaktifkan reseptor spesifik yang dimodifikasi di otak. Obat tersebut dinamakan Designer Receptors Exclusively Activated by Designer Drugs atau DREADDs. 

Obat itu kemudian mengaktifkan kondisi hibernasi pada ketiga kera baik dalam kondisi terbius maupun terjaga. Pada monyet yang dibius, hipotermia yang diinduksi mengakibatkan penurunan suhu inti tubuh dan mencegah pemanasan eksternal. Para peneliti mengatakan bahwa itu menunjukkan peran penting neuron preoptik area dalam termoregulasi primata.

Para peneliti mencatat perubahan perilaku pada monyet yang terjaga dan membandingkannya dengan tikus yang dinduksi hipotermia. Biasanya, tikus mengurangi aktivitas, dan detak jantungnya menurun dalam upaya menghemat panas.

Tetapi untuk monyet, sebaliknya, menunjukkan detak jantung dan tingkat aktivitas yang meningkat dan, sebagai tambahan, mulai menggigil. Ini menunjukkan bahwa termoregulasi pada primata lebih kompleks daripada pada tikus. 

Para ilmuwan kemudian mempelajari hasilnya menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional, perubahan perilaku, serta perubahan fisiologis dan biokimia. Hasilnya upaya itu bisa memberikan efek hipotermia pada primata berdasarka manipulasi saraf. 

Salah satu peneliti SIAT, Wang Hong, mengatakan bahwa ide tersebut merupakan tonggak sejarah dalam perjalanan panjang menuju hibernasi buatan. Yakni dengan model monyet hipotermia. “Ini tonggak sejarah,”katanya. 

 

Editor : Elde Joyosemito

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut