Oleh: Ardi Pratama
DUNIA mulai bangkit dari Covid-19. Pandemi telah bergeser menjadi endemi. Insan manusia yang hampir tiga tahun ke belakang ini terkunci di balik pintu-pintu rumahnya kembali mengikat tali sepatunya dan berjalan menuju tempat kerjanya.
Layaknya petualang yang perlahan mendaki lereng-lereng gunung, grafik-grafik indikator ekonomi dalam negeri pun kembali naik dan menjadi sinyal akan aktivitas ekonomi bangsa yang mulai kembali seperti sedia kala.
Demikianlah gambaran Indonesia saat ini yang mulai menikmati buah pertumbuhan ekonomi yang kembali bangkit. Berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, Indonesia sebagai raksasa dari asia tenggara bertengger di posisi 5 besar di antara negara-negara G20.
Hal ini dikonfirmasi dari outlook ekonomi yang dirilis The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada bulan November tahun lalu.
Mengungguli rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan berada pada level 3,1%, Indonesia duduk di urutan ke-4 setelah Arab Saudi, India, dan Turki dengan estimasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% yoy pada 2022.
Kita tentu bahagia dan patut berbangga mendengar informasi ini. Apalagi presidensi kita dalam G20 tahun lalu bisa dibilang sukses dan menciptakan standar baru perhelatan pertemuan pemimpin negara-negara besar di tengah pandemi yang saat itu masih berlangsung.
Lantas, apakah kebahagiaan ini akan bertahan lama? Apakah kebahagiaan ini dinikmati secara menyeluruh oleh seluruh aspek kehidupan?
Dilansir dari rilis Kompas.id pada 26 Maret 2022 pada artikel Momentum Perbaikan Kualitas Udara Pascapandemi Covid-19, kualitas udara sejumlah kota besar di Indonesia yang diukur dari kadar Nitrogen Dioksida (NO2) menunjukkan tren peningkatan, contohnya Jakarta.
Pada tahun 2020, kadar NO2 di Jakarta tercatat sebesar 0,195 parts per million (ppm).
Namun, pada tahun 2021 ketika mulai terdapat sejumlah pelonggaran aturan mobilitas, kadar NO2 di Jakarta tercatat sebesar 0,300 ppm atau naik sebesar 54% year-on-year (yoy).
Lalu bagaimana dengan 2022? Meski belum ada rilis resmi tentang kualitas udara tahun 2022, kita sudah dapat membayangkan bahwa kualitas udara di kota-kota besar Indonesia memiliki kecenderungan menjadi lebih buruk dibandingkan tahun 2021.
Melihat pertumbuhan ekonomi yang meningkat diiringi dengan kadar polutan yang turut mengalami peningkatan, kita tentu dapat menarik kesimpulan bahwa perekonomian kita ditenagai oleh sumber-sumber energi yang tidak ramah lingkungan dan mencemari udara.
Tentu pertumbuhan ekonomi yang demikian ini dapat dikatakan tidak sehat dan tidak mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan atau sustainable. Bagaimana tidak, pertumbuhan ekonomi yang memiliki efek samping merusak lingkungan ini akan menjadi bom waktu bagi Indonesia.
Bagaikan mengisikan mesiu ke dalam peledak, polusi lingkungan yang terus menerus muncul di setiap aktivitas ekonomi akan memunculkan berbagai masalah baru seperti penyakit pernafasan, penyakit pencernaan, bahkan dapat mempengaruhi kualitas produk pertanian yang menyumbangkan setidaknya 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional.
Masalah ini tentu tidak hanya terjadi di dalam negeri namun juga disadari oleh berbagai negara di dunia. Cerminan dari kesadaran tersebut selanjutnya terwujud dalam tujuan-tujuan yang dirangkum dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan 17 tujuan mulia umat manusia dan disepakati oleh 193 pemimpin negara anggota PBB pada tahun 2015.
Di antara 17 goals tersebut, sebanyak 8 goals yang berkaitan langsung dengan kelestarian lingkungan. Ini menandakan bahwa kelestarian dan kesehatan lingkungan memiliki peranan penting untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.
Berbicara spesifik tentang tantangan apa yang sesungguhnya dihadapi negara ini, tentu tidak lepas dari karakter masyarakat yang sampai saat ini jatuh cinta dan dibuat ketagihan oleh bahan bakar fosil atau kita sebut minyak bumi.
Kita semua tahu bahwa minyak bumi dan olahannya atau Bahan Bakar Minyak (BBM) memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Kandungan rantai C (karbon) yang tinggi seringkali bereaksi tidak sempurna dalam proses pembakaran sehingga membentuk gas-gas yang bersifat racun bagi lingkungan.
Tidak berhenti di situ, kandungan sulfur dalam BBM juga turut memperparah dampak negatif yang ditimbulkannya. Fakta tentang betapa merusaknya BBM ini bukan tidak diketahui oleh banyak orang. Namun dalam praktik sehari-hari, penggunaan BBM terus tumbuh dan melampaui batas kemampuan produksi dalam negeri.
Fenomena ini lantas membawa bumi pertiwi kita keluar dari OPEC pada tahun 2003. Begitupun pada masa-masa setelahnya sampai dengan saat ini, kita menyandang predikat negara net importir BBM.
Bukan di luar prediksi bahwa permintaan BBM yang melesat di Tanah Air saat ini juga didorong akibat pola konsumsi masyarakat yang gemar menggunakan kendaraan pribadi alih-alih naik kendaraan umum seolah kecanduan terhadap kenikmatan raungan mesin yang dikendalikannya.
Untuk menjawab permasalahan kekurangan pasokan BBM dan persoalan pencemaran lingkungan, sudah saatnya kita menilik berbagai alternatif energi yang ketersediaannya melimpah di negeri ini.
Negeri yang subur dan selalu nampak hijau dari ketinggian ini tentu melimpah akan vegetasi dan tumbuhan hijau yang dapat dengan mudah tumbuh subur di seluruh penjuru negeri.
Dari situlah sebenarnya tersimpan sumber energi nabati yang dapat diolah menggantikan BBM yang kita tahu bersifat mencemari. Olahan bernilai tinggi dan mampu menggantikan BBM itu bernama etanol nabati atau bioetanol.
Sesuai namanya, bioetanol merupakan gabungan dari kata bio dan etanol yang masing-masing dapat diartikan sebagai organik/alami dan kata ganti alkohol.
Sehingga dapat kita pahami bioetanol adalah alkohol alami yang bersumber dari proses ekstraksi tanaman dan tumbuhan. Bioetanol cenderung mudah untuk diproduksi dan cukup menggunakan peralatan yang tergolong murah.
Sumbernya yang melimpah dan proses produksi yang mudah ini pada akhirnya membuat bioetanol digarap serius di sejumlah negara di dunia.
Sebut saja di Uni Eropa, produksi bioetanol pada tahun 2022 mencapai 5,35 juta kiloliter yang dihasilkan dari 55 refinery yang tersebar di seluruh penjuru eropa. Lebih dari 90% bioetanol yang diproduksi tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dan mesin-mesin industri.
Selain itu, beberapa negara emerging markets juga turut menggarap bioetanol dengan serius salah satunya Brazil. Produksi bioetanol di negara Samba ini bahkan mencapai 35 juta kiloliter pada tahun 2019.
Secara umum, material organik yang digunakan oleh negara-negara produsen bioetanol adalah sugar cane atau tebu dengan lebih tepatnya berupa ampas tebu hasil produksi gula.
Meski ampas tebu populer untuk produksi bioetanol berskala besar, material lain seperti kernel jagung, gandum, singkong, hingga limbah kelapa sawit. Pada dasarnya, material yang kaya akan senyawa karbohidrat dan zat pati dapat difermentasi untuk produksi bioetanol. Fleksibilitas inilah yang perlu kita pahami dan menjadi dorongan bagi industri dalam negeri untuk mulai memproduksi bioetanol.
Di Indonesia saat ini sebenarnya telah terdapat beberapa sentra industri bioetanol. Misalnya saja di Sukoharjo, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Bekonang yang masyarakatnya telah puluhan tahun mengolah ampas tebu menjadi etanol. Setidaknya ada 127 Industri Kecil Menengah (IKM) yang mengolah ampas tebu menjadi bioetanol dengan kadar kemurnian cukup tinggi.
Namun demikian, produksi bioetanol tersebut belum berorientasi sebagai energi alternatif melainkan ditujukan sebagai bahan baku makanan dan minuman beralkohol. Selain itu, belum ada orkestrasi yang tersusun rapi antar pelaku usaha sehingga kapasitas produksi bioetanol di desa tersebut belum dapat dikatakan optimal.
Tantangan lain yang juga dihadapi para pelaku usaha industri bioetanol tersebut adalah adanya stigma negatif dari masyarakat luas yang sering mengkaitkan produksi bioetanol dengan industri haram. Di samping itu, pada 4 November 2022 Presiden Joko Widodo meluncurkan program Bioetanol Tebu Untuk Ketahanan Energi.
Peluncuran tersebut dilaksanakan di sela kunjungan kerja beliau ke pabrik bioetanol di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tepatnya PT Energi Agro Nusantara (Enero). Pabrik bioetanol ini merupakan bagian dari kapasitas produksi nasional bioetanol saat ini dengan total sebesar 40 ribu kiloliter. Berdasarkan rilis kementerian ESDM, produksi bioetanol dalam negeri ditargetkan sebesar 1,2 juta kiloliter pada tahun 2030.
Melihat kondisi ini, kita sadari bahwa potensi bioetanol di dalam negeri sebenarnya cukup kuat dan mampu digerakkan oleh para IKM dan UMKM. Dari kesederhanaan proses dan harga bahan baku yang tergolong murah dan melimpah, risiko usaha bioetanol dapat dikatakan rendah dengan permintaan global yang terus tumbuh.
Perlu orkestrasi dan sinergi dari pemerintah, swasta, serta masyarakat yang berjalan dengan sinkron sehingga industri bioetanol dapat mewujudkan resiliensi energi dalam negeri serta mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap mencapai 17 SDGs untuk kehidupan yang lebih baik.
Ardi Pratama
Junior Analyst - SME Development and Financial Inclusion Unit
Kantor Bank Indonesia Purwokerto
Editor : EldeJoyosemito