BANYUMAS, iNewsPurwokerto.id - Sejarah dan asal usul Banyumas yang konon berawal dari kisah pohon tembaga menarik untuk diketahui masyarakat luas. Apalagi menjelang Hari Jadi Kabupaten Banyumas ke 452 yang jatuh setiap tanggal 22 Februari.
Sejarah dan asal usul Banyumas tertulis dalam sebuah tulisan sejarah berbahasa Jawa yang menyebutkan jika keberadaan pohon tembaga di Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas tercatat dalam kisah Babad Banyumas. Asal mula berdirinya Kadipaten Banyumas (sekarang Kabupaten Banyumas) diceritakan oleh Gitosewojo (87) atau dikenal dengan Eyang Gito, yang merupakan tokoh masyarakat di wilayah tersebut.
Dikutip iNewsPurwokerto.id dari akun YouTube Ada Wong Ndeso, Rabu (15/2/2023), Eyang Gito menceritakan tentang Babad Banyumas dan kisah pohon tembaga sebagai asal usul berdirinya Kadipaten Banyumas kala itu.
Dalam buku yang ia baca tersebut, wilayah Banyumas dahulunya adalah bagian dari wilayah Kadipaten Wirasaba (terletak di Purbalingga) dipimpin oleh Adipati Wirasaba yang wafat setelah dibunuh oleh utusan dari Kesultanan Pajang pada tahun 1557.
Raden Joko Kaiman atau Raden Bagus Semangun yang merupakan putra menantu Adipati Wirasaba akhirnya menggantikan dirinya menjadi penguasa di Kadipaten Wirasaba. Raden Joko Kaiman kemudian diberi gelar oleh Sultan Pajang menjadi Adipati Wargo Utomo ke II, karena Adipati Wirasaba yang dibunuh itu bergelar Adipati Wargo Utomo I.
Dalam sejarah Banyumas ini, kemudian Adipati Wargo Utamo II mendapat wangsit untuk membuka tempat baru yang berada di barat laut Desa Kejawar yang terdapat pohon tembaga. Maka ia harus mencari pohon tembaga tersebut jika ingin lestari dalam menjalankan tugas sebagai adipati.
"Yen sira pengin lestari nggonira jumeneng adipati, trukaha papan anyar kang dhumunge lor kulone Desa Kejawar kang ana wite tembaga," kata Eyang Gito.
Gitosewojo atau Eyang Gito. Foto: Tangkapan layar YouTube Ada Wong Ndeso
Adipati Wargo Utomo ke II yang juga dikenal dengan nama Adipati Mrapat ini kemudian menghadap ke ayah dan ibu angkatnya, yaitu Kyai Mranggi dan Nyai Mranggi, tak lama setelah mendapatkan wangsit tersebut.
Dia menyampaikan bisikan yang didengar kepada orangtua angkatnya, dan orangtua angkatnya memastikan jika itu suara itu memang suara bisikan dari yang maha kuasa.
Kemudian Adipati Wargo Utomo ke II mulai mencari pohon tembaga berdasarkan wangsit yang ia dengar dan menuju ke arah barat laut dari Desa Kejawar yang kala itu masih berupa rawa.
"Di rawa ini terdapat banyak pohon-pohon, sehingga disebut hutan. Anehnya, Adipati Wargo Utomo ke II, bersama orangtua angkat dan para pengikutnya dari Wirasaba bisa menunjuk dan bisa memastikan bahwa inilah pohon tembaga," ungkapnya.
Menurut Eyang Gito, setelah dipastikan itulah pohon tembaga, maka Adipati wargo Utomo ke II bersama rakyatnya kemudian beramai ramai babad tempat tersebut. "Lumpur rawanya dibuang, dikeringkan. Pohon-pohon yang ada ditebangi semuanya, kecuali pohon yang ditunjuk tadi (pohon tembaga)," ucapnya.
Selesai pembabatan hutan pada tahun 1571 dari tempat yang semula rawa dan hutan itu menjadi tanah yang kering dan bisa dihuni. Karena wilayah tersebut dibawah Kesultanan Pajang, maka Adipati wargo Utomo ke II lalu melapor ke pajang. Maka berdirilah Kadipaten Banyumas kala itu.
"Setelah Adipati wargo Utomo ke II dinobatkan dan mendapatkan wangsit, untuk membuka tempat baru yang ada pohon tembaganya (asal usul kadipaten Banyumas). Jadi kerajaan, karena Adipati itu raja dan punya angkatan perang serta punya Patih juga," ujarnya.
Kisah Pohon Tembaga Satu-satunya di Indonesia
Eyang Gito juga menceritakan saat dirinya berusia 9 tahun, pohon tersebut sudah ada dan masih tegak berdiri hingga saat ini. Ia bahkan sering bermain dan mencari jangkrik di sekitar pohon yang memiliki diameter 30 centimeter dengan tinggi lebih dari 10 meter ini.
Pohon tembaga tumbuh bersebelahan dengan pohon nagasari, di Desa Pekunden, Kecamatan Banyumas dan tidak pernah berubah sedikitpun, termasuk tinggi serta bentuknya. Namun ketika musim kemarau tiba, pohon tembaga akan berubah warna menjadi kuning layaknya tembaga, daunnya juga akan rontok hingga menyerupai kayu bakar, tapi akan kembali tumbuh saat musim hujan.
Pohon tembaga yang berada di kompleks pemakaman tersebut, diungkapkan Eyang Gito tidak pernah berbunga, dan tidak memiliki biji. Sehingga pohon tersebut tidak dapat dikembangkan.
Pemerintah bahkan menyatakan jika pohon tembaga merupakan pohon langka dan bersejarah serta dilindungi undang-undang.
Berbagai penelitian untuk mengembangkan pohon tembaga sudah dilakukan, termasuk dari Dinas Perkebunan untuk mencocokkan sel kayu dan melakukan teknik kultur jaringan yang terdapat pada pohon tersebut. Namun usaha yang dilakukan selalu gagal, sehingga pohon tersebut tidak pernah bisa budidayakan.
Sementara menurut sejarawan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum mengatakan jika pohon tembaga memang masuk dalam kisah babad Banyumas.
Dosen yang ikut melakukan penelitian tentang sejarah babad Banyumas ini mengungkapkan jika Adipati Mrapat memang mendapatkan semacam petunjuk gaib. Jika ingin dia dan keluarganya, anak keturunannya kekal berkuasa di Banyumas, maka harus membuka hutan di arah barat laut desa kejawar.
Disitulah awal kota yang baru yang disebut Kadipaten Banyumas kala itu. "Di situ disebut, bukalah tempat yang dikatakan benering kayu tembogo, jadi kayu tembogo itu disebelah Selatan sungai Pasinggangan lurus ke Utara, di mana Adipati Mrapat saat itu membuka ibukota baru. Pohon tembaga pertanda kota baru yang dibuka oleh Adipati Mrapat," ujar Sugeng.
Terkait pohon tembaga, Sugeng mengatakan jika pohon tembaga termasuk tanaman langka, karena tanaman itu hanya ada satu-satunya di Indonesia karena tidak bisa dikembangkan. Kalaupun ada, jenisnya akan berbeda. Dia mengungkapkan itu berdasarkan penuturan ahli botani yang melakukan penelitian terkait pohon tembaga yang menjadi sejarah dan asal usul Banyumas.
"Umurnya ya sudah tua (pohon tembaga), saya kira kalau 1571 sudah ada, ya sekarang sesuai dengan umur Kabupaten Banyumas (lebih dari 452 tahun)," ucapnya.
Sementara terkait penanaman Banyumas sendiri, kata Sugeng berasal dari nama sebuah sungai Banyumas yang berada dekat dengan pohon tembaga dan bermuara di Sungai Serayu. Di mana sungai Banyumas sudah ada sebelum wilayah itu di babad.
Editor : Arbi Anugrah