Ia menilai jika Kabupaten Banyumas juga memiliki banyak sekali karya sastra dan budaya. Selain itu, banyak sekali tokoh-tokoh nasional yang perlu dilestarikan sejarahnya.
"Banyumas banyak sekali karya-karya sastra budaya, banyak sekali tokoh-tokoh nasional yang perlu di lestarikan sejarahnya. Kalau tidak dilestarikan sejarahnya, anak-anak sekarang tidak ingat tidak tahu," jelasnya.
Ahmad Tohari. Foto: Arbi Anugrah/iNewsPurwokerto.id
Sementara menurut Produser Museum Virtual Ahmad Tohari, Abdul Azis mengatakan jika Museum Virtual Ini sebenarnya adalah program Indonesiana di bidang dokumentasi karya dan pengetahuan maestro. Selain Indonesiana, keterlibatan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) turut menyumbang dalam proses pengerjaan Museum Virtual Ahmad Tohari ini.
"Tujuan besarnya bagaimana kemudian mendokumentasikan, mengkreasikan kembali karya-karya seorang Maestro dan yang terpilih di sini adalah pak Ahmad Tohari, sebagai salah satu tokoh kesusastraan di Indonesia," ujarnya.
Ia mengungkapkan, untuk tetap mengenalkan karya sang maestro ini, pihaknya melalui Kolektif Seni Banyumas berupaya mengangkat sang sastrawan Indonesia ini dalam sebuah Museum Virtual Ahmad Tohari. Dalam ruang virtual ini yang dapat diakses melalui laman museumahmadtohari.id ini pengunjung Museum Virtual Ahmad Tohari juga diajak mengenal sosok Ahmad Tohari sejak masa kanak-kanak hingga diusia senja dengan berbagai bentuk seperti visual, audio dan foto.
"Jadi museum ini sebenarnya lebih cenderung mengaktivasi kembali hayat atau kehidupan pak Tohari dan juga karya-karya beliau yang kemudian kita kreasikan kembali ke dalam bentuk visual, kemudian 3D, kemudian ada audio, foto-foto," ucapnya.
Menurutnya, sosok Ahmad Tohari memang tak lepas dari film sang penari yang mengangkat tentang kisah penari Lengger Pukuh Paruk. Selain melahirkan karya novel Ronggeng Dukuh Paruk yang berkisah tentang pergulatan penari lengger di dusun kecil pada masa pergolakan komunis. Sastrawan dan budayawan Indonesia ini juga melahirkan karya-karya yang dianggap ke kiri-kirian oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Tohari sempai diinterogasi selama berminggu-minggu.
"Intinya, sebenarnya ini dimaksudkan agar menjadi pintu pertama, pintu penghubung kepada berbagai pihak seperti akademisi, peneliti, pembaca sastra, kemudian mahasiswa, dan siswa itu lebih mudah untuk mengakses karya-karya Pak Tohari," ucapnya.
"Seperti apa kehidupan beliau, seperti apa proses kreatif kepengarangan beliau yang harapannya kemudian bisa memantik aspirasi, bisa memberikan inspirasi hidup yang harapannya bisa melahirkan karya-karya baru kedepannya, dan emoga bisa mencapai apa yang pak Tohari capai dalam kesusasteraan di Indonesia," lanjutnya.
Aziz mengatakan jika dalam proses penggarapan Museum Virtual ini cukup lama, yakni memakan waktu lebih dari 1 tahun. Dalam museum ini sendiri tersaji juga arsip - arsip milik Ahmad Tohari seperti buku, surat-surat pribadi hingga karya tulisnya, termasuk karya alih wahana dari karya sastra ke film.
"Proyek ini cukup lama, kalau untuk pengerjaannya selama 1 tahun lebih. Kalau secara karya itu, semua karya lengkap pak Tohari meliputi novel, cerita pendek, kemudian esai-esai beliau, terjemahan Alquran, kemudian kamus, pidato kebudayaan juga salah satunya itu majalah Ancas, majalah bahasa Banyumasan yang ia pimpin," katanya.
Dengan berbagai karya-karya tersebut, Aziz menjelaskan jika sangat terlihat jelas bagaimana sosok Ahmad Tohari memiliki keberminatan terhadap kesastraan dalam fiksi. Khususnya konsentrasi Ahmad Tohari melestarikan bahasa Banyumas.
"Jadi dia punya kepedulian terhadap lokalitas, itu yang cukup menarik," pungkasnya.
Editor : Arbi Anugrah