Menurutnya, pemberdayaan ekonomi melalui pariwisata itu mempunyai efek bola salju atau snowball yang akan berdampak terhadap perkembangan akomodasi, kuliner, transportasi, ekonomi kreatif, dan sebagainya.
"Efek snowball yang kita kejar. Di wilayah kerja Bank Indonesia, sudah ada Dieng Culture Festival yang tahun kemarin sudah masuk Kharisma Event Nusantara (KEN). Di Banyumas belum ada event yang masuk dalam KEN. Inilah yang akan kita kerja ke depannya,”paparnya.
Latar belakang panggung yang dihiasi ornamen bambu.
Event ini juga mendorong UMKM serta sektor pariwisata, tetapi juga untuk mempromosikan ekonomi syariah.
Jurnalis senior dan penasihat jazz gunung, Andy F Noya mengharapkan dengan acara Jazz Gunung Slamet ini dapat menjadikan Banyumas sebagai tujuan wisata yang tak kalah menarik dengan destinasi wisata lain seperti Yogyakarta, Bali, dan Labuan Bajo.
Andy menyatakan bahwa potensi ini sangat besar, dan yang dibutuhkan adalah upaya bersama agar Banyumas dapat berkembang lebih cepat sebagai tujuan wisata yang kompetitif dibandingkan dengan daerah lain.
Kepala Desa Kemutug Lor Sarwono mengatakan pagelaran BCF yang di dalamnya ada QRIS Jazz Gunung Slamet, melibatkan warga. “Warga membuat berbagai macam suvenir seperti gelang, kalung dan kerajinan bambu lainnya. Pagelaran ini juga melibatkan penuh Pokdarwis Sidamukti. Jadi pelibatan masyarakat semacam ini sangat baik untuk menunjang pemberdayaan ekonomi,”tandasnya.
Bahkan, karya seni bambu menjadi latar panggung utama juga merupakan buah tangan Mas Tutur, seorang warga Kemutug Lor. Tentu saja dia bahagia, karya seni bambunya menjadi saksi bisu bertemunya dua budaya yang berasal dari belahan dunia berbeda.
Ada musik jazz yang lahir di Amerika Serikat dan Lengger dari budaya asli Banyumas. Sebuah kolaborasi yang memikat hati dan menjadi peta jalan pemberdayaan ekonomi.
Editor : EldeJoyosemito