JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Sebentar lagi bulan suci Ramadhan akan datang. Bagi umat Muslim yang masih memiliki hutang puasa yang tertunda dari tahun lalu, wajib hukumnya untuk segera membayarnya.
Lalu bagaimana cara membayar hutang puasa Ramadahan yang sudah bertahun-tahun?
Para ulama setuju bahwa seseorang yang tidak bisa berpuasa baik karena sengaja atau karena udzur syar'i wajib mengganti puasanya dengan jumlah hari yang ditinggalkan. Bagi umat Muslim yang belum membayar hutang puasa, masih ada kesempatan untuk menggantinya dengan puasa qadha. Karena Bulan Ramadhan akan segera tiba dalam beberapa hari lagi.
Ustadz Luki Nugroho Lc dari Tim Asatidz Rumah Fiqih Indonesia, menjelaskan dalam bukunya " Kupas Tuntas Fidyah", Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, jilid 3, hal 144 menilai mayoritas ulama berpendapat bahwa bagi mereka yang memiliki hutang puasa Ramadhan dan dengan sengaja tidak membayarnya hingga datang Ramadhan berikutnya, selain tetap wajib membayar hutang puasanya, mereka juga wajib membayar fidyah sebagai konsekuensi dari kelalaian ini.
Hal itu adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah ridhwanullahi ‘alaihim, juga pendapat Mujahid, Said bin Jubair, Atha’ bin Abi Rabah. Dan ini juga pendapat madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.
Fidyah berasal dari kata "fadaa" yang berarti mengganti atau menebus. Bagi sebagian orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa dengan kriteria tertentu, mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan menggantinya di kemudian hari.
Secara terminologi, Fidyah merupakan padanan dari al-Fida’ yang berarti suatu pengganti (tebusan) yang membebaskan seorang mukallaf dari suatu perkara hukum yang berlaku padanya.
Hukum Fidyah
Hukum membayar fidyah adalah wajib dan harus dibayarkan sebagai pengganti ibadah puasa yang ditinggalkan dengan membayar sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan oleh seseorang. Kemudian, makanan tersebut akan disumbangkan kepada orang-orang miskin.
Terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran yang menguraikan tentang kewajiban membayar atau mengeluarkan fidyah, baik dalam konteks ibadah haji maupun puasa.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran, Surat Al Baqarah ayat 184:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". (QS. Al Baqarah: 184).
Ustaz Ahmad Sarwat MA dari Rumah Fiqih Indonesia menegaskan bahwa kewajiban hutang puasa Ramadhan tetap harus dilunasi meskipun telah terlewat lama dan belum dibayar dengan qadha.
Bahkan, hutang puasa ini tidak dapat diubah menjadi bentuk lain seperti sedekah atau memberi makan fakir miskin, selama masih dalam keadaan sehat dan mampu berpuasa.
Maka, jika masih dalam keadaan sehat dan masih memiliki usia, segera lunasi hutang qadha' puasa tersebut secepatnya.
Jika hutang puasa biasa, maka yang harus dibayar adalah qadha' puasa sejumlah hari yang ditinggalkan. Para ulama umumnya setuju dengan hal tersebut.
Namun, mereka memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai kasus hutang puasa tidak dibayarkan, bahkan setelah melewati satu tahun hingga bertemu lagi dengan bulan Ramadhan di tahun berikutnya. Terlebih lagi, jika tidak hanya satu tahun tetapi hutang puasa tersebut belum dibayarkan selama bertahun-tahun lamanya.
Mayoritas Ulama setuju bahwa cara membayar hutang puasa Ramadhan yang telah tertunda selama bertahun-tahun adalah dengan melakukan puasa qadha dan membayar Fidyah.
Sebagian fuqaha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengungkapkan jika harus mengqadha‘ setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda).
Dasar keyakinan mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan seseorang yang meninggalkan kewajiban mengqadha‘ puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar‘i seperti seseorang yang sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, wajib mengqadha‘ serta membayar kaffarah (dalam bentuk Fidyah).
Berikut tata cara membayar fidyah:
1. Membayar Fidyah dengan Beras
Imam Malik, Imam As-Syafi'I menjelaskan fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons=675 gram=0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa).
Sementara menurut Ulama Hanafiyah, fidyah yang harus dikeluarkan berjumlah 2 mud atau setara 1/2 sha' gandum. (Jika 1 sha' setara 4 mud= sekitar 3 kg, maka 1/2 sha' berarti sekitar 1,5 kg). Aturan kedua ini biasa dilakukan untuk orang yang membayar fidyah seperti beras.
2. Fidyah dengan Uang
Menurut Hanafiyah, fidyah dapat dibayar dalam bentuk qimah (nominal) yang setara dengan jenis makanan yang disebutkan dalam Al Quran atau hadits, seperti membayar dengan uang.
Konsep jenis makanan pokok yang dinominalkan dan dianggap penting menurut pandangan Hanafiyyah hanya mencakup makanan-makanan yang disebutkan secara jelas dalam hadits Nabi, seperti kurma, al-burr (gandum)/tepung, anggur, dan al-sya’ir (jerawut).
Adapun jumlahnya adalah satu sha' untuk kurma, jerawut, dan anggur (menurut beberapa pendapat, anggur hanya setengah sha'). Sementara gandum atau tepung adalah setengah sha' untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Ketentuan kadar, jenis dan kebolehan menunaikan qimah dalam fidyah menurut perspektif Hanafiyah sama dengan ketentuan dalam bab zakat fitrah (Syekh Ahmad bin Muhammad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala Maraqil Falah, hal. 688).
Ukuran satu sha’ menurut Hanafiyyah menurut hitungan versi Syekh Ali Jum’ah dan Muhammad Hasan adalah 3,25 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,625 kg. Sedangkan menurut hitungan versi Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqih al-Islami adalah 3,8 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,9 kg.
Tata cara niat membayar Fidyah
1. Niat fidyah puasa bagi orang sakit keras dan orang tua renta:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ لإِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Latin: Nawaitu an ukhrija haadzihil fidyata li ifthoori shoumi romadhoona fardhan lillaahi ta'aala
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini karena berbuka puasa di bulan Ramadhan, fardlu karena Allah.”
2. Niat fidyah bagi wanita hamil atau menyusui:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ إِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِلْخَوْفِ عَلَى وَلَدِيْ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Latin: Nawaitu an ukhrija haadzihil fidyata 'an ifthoori shoumi romadhoona lilkhoufi 'alaa waladii fardhan lillaahi ta'aala
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadhan karena khawatir keselamatan anaku, fardlu karena Allah.”
3. Niat fidyah puasa orang mati (dilakukan oleh wali/ahli waris):
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ صَوْمِ رَمَضَانِ فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Latin: Nawaitu an ukhrija haadzihil fidyata 'an shoumi romadhoona fulaan bin fulan fardhan lillaahi ta'aala
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan puasa Ramadhan untuk Fulan bin Fulan (disebutkan nama mayitnya), fardlu karena Allah”.
4. Niat fidyah karena terlambat mengqadha puasa Ramadhan.
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu an ukhrija haadzihil fidyata 'an ta khiiri qadhaa i shoumi romadhoona fardhan lillaahi ta'aala
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan, fardlu karena Allah”.
Anda dapat membaca niat fidyah saat memberikan kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil, atau setelah memisahkan beras yang akan ditunaikan sebagai fiidyah.
Demikianlah penjelasan mengenai cara membayar hutang puasa Ramadhan yang sudah bertahun-tahun. Semoga informasi ini bermanfaat.
Wallahu A'lam
Editor : Aryo Arbi