GELAR haji bagi Muslim asal Indonesia disematkan bagi yang sudah menunaikan rukun Islam ke-5 di Tanah Suci Makkah.
Bahkan ada sebagiansengaja menambahkan gelar haji di depan namanya. Baik penulisan resmi dalam dokumen atau surat-surat penting lainnya dengan berbagai alasan.
Misalnya ada yang mengatakan itu merupakan syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan ibadah haji.
Ada pula yang beralasan bahwa ibadah haji adalah ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak memakai gelar haji/hajah.
Bahkan zaman dulu masih sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan Ibadah haji, karena membutuhkan biaya yang besar karena moda transportasi yang digunakan menggunakan kapal layar maupun kapal laut.
Sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan haji dan di kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan haji, maka jika di kampung/desa itu disebutkan pak haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang dimaksud pak haji itu.
Gelar atau sebutan haji bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji, baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Melasir laman kerinci.kemenag.go.id disebutkan pada zaman Kerajaan Galuh, putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata penguasa Kerajaan Galuh yang memerintah 1357-1371 Bratalegawa sering melakukan pelayaran ke Sumatera, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Lalu Bratalegawa menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di Kerajaan Galuh, dia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).
(Foto: Antara)
Selain itu ada Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.
Atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Makkah antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam.
Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah, dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Sementara saat Kesultanan Banten, ada putra Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama Abdul Kahar dikirim ke Makkah untuk menemui Sultan Makkah sambil melaksanakan ibadah haji. lalu dia melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekkah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait