DAHSYATNYA peperangam ternyata juga memendam kisah penyaluran syahwat para tentara. Bahkan, di tangsi militer Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) zaman kolonial, malah menyimpan praktik pergundikan.
Dengan kata lain menyimpan wanita tanpa ikatan atau istilahnya samen laven. Kalau sekarang disebut kumpul kebo.
Bahkan seorang serdadu diizinkan memiliki nyai atau moentji. Nyai atau moentji merupakan sebutan untuk wanita simpanan di dalam tangsi militer. Mereka hidup tanpa ikatan pernikahan yang juga lazim disebut kumpul kebo. Setiap usai bertugas, tentara dipandang butuh dilayani.
Tugas dari wanita simpanan seperti layaknya istri yakni mengurus pakaian, senjata, makanan, bersih-bersih ruangan, hingga layanan di atas ranjang. Praktik mesum berupa pergundikan tersebut tak perlu dilarang karena menguatkan mental tentara.
Dalam surat yang ditulis Jenderal Haga, pemimpin KNIL kepada Menteri Penjajahan L.W.Ch Keuchenius tahun 1887 menyebut, pelarangan pergundikan justru hanya akan menimbulkan kerugian.
Ketidakhadiran para perempuan di tangsi militer, bakal membuat para serdadu mengalami rasa kehilangan yang besar.
"Pelarangan pergundikan tangsi pasti akan memberi pengaruh yang merugikan dalam merekrut para Pribumi dan orang-orang Ambon," tulis Jenderal Haga seperti dikutip dari buku Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
Pada tahun 1898, jumlah tentara KNIL di Hindia Belanda sebanyak 42.000 orang. Sebanyak 18.000 orang adalah serdadu Eropa dan selebihnya merupakan tentara pribumi. Di dalam tangsi militer, mereka memiliki julukannya sendiri.
Serdadu Eropa berjuluk Jan Fuselier atau tentara bersenjata. Sedangkan serdadu pribumi dipanggil Kromo. Sementara Sarina adalah julukan perempuan yang hidup di dalam tangsi.
Meski praktik pergundikan dibolehkan, KNIL tetap menerapkan persyaratan secara ketat. Seorang calon nyai harus berkelakukan baik. hal tersebut dibuktikan dengan keterangan pihak berwenang setempat. Bukti kelakukan baik diserahkan serdadu pemohon kepada panglima militer.
Jika terbukti benar (berkelakuan baik), si nyai langsung didata dalam daftar khusus yang isinya nama terang, kelahiran, nama tentara yang bersamanya, dan tanggal masuk. "Setelah itu ia pun mendapat surat izin masuk ke dalam tangsi," tulis Reegie Baay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
Praktik pergundikan di tangsi lebih banyak dilakukan serdadu KNIL berstatus lajang atau bujangan. Mereka terdorong oleh para tentara yang sudah menikah dan dibolehkan membawa istri dan anaknya ke dalam tangsi.
Para tentara lajang itu mendapatkan nyai dengan berbagai cara. Ada yang mencari. Ada yang mendapat dari tawaran keluarga yang sengaja menawarkan anak gadisnya. Kemudian banyak yang mendapatkan dari perempuan pribumi yang menawarkan diri untuk menjadi nyai. Banyak dari perempuan itu yang sebelumnya bekerja di warung makan tidak jauh dari tangsi.
"Mereka mencari pasangan pergundikan dengan berdiri di gerbang tangsi dan menawarkan diri kepada para serdadu yang baru datang dari Eropa, dan kepada mereka yang mencari nyai," tulis Reggie Baay.
Para nyai di tangsi militer kebanyakan berusia 12-35 tahun. Nyai berusia 30 tahun sudah dianggap tua. Selain perempuan pribumi, tak sedikit nyai keturunan Indo-Eropa. Mereka yang berasal dari hasil pergundikan sebelumnya.
Berbeda dengan nyai perempuan pribumi. Nyai Indo-Eropa selalu selektif dalam memilih pasangan. Perwira berpangkat rendah dan sejenisnya, selalu menjadi favoritnya. Hal itu yang membuat nyai keturunan Indo-Eropa dipandang lebih tinggi dari nyai pribumi.
Sementara bagi sebagian perempuan pribumi, menjadi nyai adalah cara melepaskan diri dari kemiskinan.
Motif utamanya ekonomi. Dengan menjadi nyai biaya hidup lebih terjamin. Penghasilan lebih teratur, termasuk adanya pendapatan tambahan dari jasa mencuci pakaian serdadu yang lain.
Namun di sisi lain mereka berhadapan dengan risiko sosial yang besar. Menjadi nyai dianggap merendahkan diri sendiri. Apalagi jika pasangannya seorang Eropa, mereka dianggap telah merendahkan diri di depan bangsa sendiri. Akibatnya tidak mendapat tempat lagi di masyarakat. "Posisi mereka berada di antara perempuan biasa dan pelacur,"kata Anggota Perlemen Scheuren dalam pandangan umum 29 November 1911.
Nasib buruk membayangi para nyai pribumi. Saat umur mereka bertambah tua, fisik tak lagi menarik dan apalagi ditambah adanya anak hasil pergundikan, eksistensi nyai pribumi mulai terancam.
Seorang nyai bisa tiba-tiba dikeluarkan dari tangsi karena tak lagi dikehendaki pasangan kumpul kebonya. Sebab hubungan tentara Eropa dengan nyai pribumi tidak pernah sederajat. "Hubungan antara orang Eropa, bahkan yang brengsek dan miskin sekali pun, dengan nyai Pribumi di dalam tangsi tidak pernah sederajat," kata Reggie Baay.
Selain usia yang bertambah tua dan tak menarik, mutasi si tentara ke tempat lain juga bisa menjadi ancaman. Kemudian habisnya masa kontrak di mana si tentara harus pulang ke Eropa.
Para nyai yang bernasib sial itu tak lagi memiliki masa depan, yakni baik di dunia Eropa maupun di dunia pribumi. Tak jarang mereka yang tak lagi berpenghasilan dan harus merawat anak-anaknya sendiri itu akhirnya menceburkan diri ke jalur prostitusi.
Tetapi praktik tersebut kemudian banyak protes. Terutama dari masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Pasalnya, pergundikan memicu penyakit kelamin.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait