Mengintip Masjid Saka Tunggal yang Usianya Hampir 500 Tahun

Aryo Arbi
Arsitektur bagian dalam Masjid Saka Tunggal di Cikakak, Wangon, Banyumas. (Foto: Aryo Arbi)

BANYUMAS, iNews.id- Masjid Baitussalam atau lebih dikenal Masjid Saka Tunggal yang berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas masih berdiri kokoh hingga saat ini. Konon, masjid yang jama'ahnya dikenal dengan karakternya dalam menentukan hari-hari besar Islam menggunakan perhitungan Jawa, Alif Rebo Wage atau Islam Aboge ini sudah berusia ratusan tahun.

Masjid Saka Tunggal sendiri berada di sebelah barat Kabupaten Banyumas, atau sekitar 30 kilometer dari Kota Purwokerto. Berada disebuah lembah yang diapit oleh perbukitan, dengan suasana alam yang tenang, damai dan sejuk ini menambah ketenangan tersendiri.

Masjid tersebut sendiri didirikan pada tahun 1522 oleh Kiai Tolih atau Mbah Mustolih yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di wilayah tersebut. Bahkan, Masjid Saka Tunggal hingga kini dipercaya masyarakat sekitar merupakan masjid tertua di Indonesia dan ikut mengawali syiar Islam, serta membentuk masyarakat Islam khususnya di wilayah Kabupaten Banyumas.

Namun demikian tidak ada bukti secara tertulis melalui dokumen terkait berdirinya Masjid Saka Tunggal. Hanya cerita secara turun temurun dan peninggalan fisik masjid beserta isinya hingga kini.

"Masjid Saka Tunggal berdasarkan penuturan leluhur, orang tua secara turun temurun, disampaikan bahwa Masjid Saka Tunggal didirikan sebelum Masjid Demak. Didirikan mungkin dimasa Majapahit," kata Sulam (50), Imam Masjid Saka Tunggal yang juga merupakan satu dari tiga juru kunci Masjid Saka Tunggal kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Dengan dilingkupi pepohonan lereng bukit serta sambutan sejumlah monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis) yang hidup secara liar, namun tetap bisa berdampingan dengan masyarakat sekitar di lingkungan sekitar masjid, menambah betah untuk tidak cepat-cepat beranjak dari lokasi tersebut.

Konon ceritanya, monyet-monyet sekitar di Masjid Saka Tunggal yang saat ini masuk dalam salah satu Cagar Budaya dilindungi. Menurut legenda merupakan santri-santri yang dikutuk oleh Kyai Saka Tunggal menjadi monyet, karena nakal dan tidak melaksanakan salat, namun malah membuat kegaduhan saat orang-orang tengah melaksanakan salat. Kyai akhirnya marah dan mengutuk satri - santrinya tersebut menjadi monyet, seperti tipikal monyet yang susah diatur, sering ganggu, dan suka mencuri.

Tapi dibalik semua legenda dalam masjid berusia ratusan tahun itu, keheningan dan kedamaian terasa semakin lengkap saat berada di dalamnya. Tembok yang khas terbuat dari anyaman bambu bermotif wajik melapisi bagian interior masjid berukuran 15 x 17 meter itu. Semilir angin lembut menelusup kisi-kisi jendela sembari disusupi cahaya matahari yang berpendar menerangi ruangan.

Sebuah saka atau tiang penyangga berukuran 40 x 40 centimeter dengan tinggi sekitar 5 meter, membuat masjid tegak berdiri menyangga langit-langit atau wuwungan masjid. Tiangnya yang hijau dipenuhi ukiran bunga dan tanaman serta dilindungi kaca.

"Cerita Saka Tunggal yang ada di tengah itu sebagai titik induk untuk berdirinya masjid yang ditopang disekeliling saka saka kecil. Filosofi dari saka tunggal adalah bersatunya atau manunggalnya manusia dengan Sang Pencipta. Manusia menghormati Sang Pencipta dan Sang Pencipta menciptakan manusia untuk berbuat hal-hal yang baik,” ceritanya.

Pada bagian ujung atas saka tunggal tersebut, juga terdapat empat sayap kayu yang disebut 4 kiblat, 5 pancer yaitu menunjuk 4 arah mata angin dan 1 pusat atau arah menunjuk ke atas. “Maknanya kita itu hidup harus punya kiblat atau pedoman, yaitu Allah,” jelasnya.

Menurut dia, 4 arah itu juga melambangkan manusia yang terdiri dari unsur air, udara atau angin, api, dan tanah berserta dengan nafsu-nafsu yang menyertainya antara lain aluamah, mutmainah, supiah, dan amarah.

“Bumi itu dibuangi apa saja tetap diam. Kita belajar nrimo (menerima) atau mengendalikan sifat itu. Kendalikan juga sifat api (amarah). Angin yang menunjukkan kehalusan kita juga harus dikendalikan dan sifat air yang selalu mengalir ke tempat rendah artinya kita juga harus merendahkan hati,” ujarnya.

Tapi dia menjelaskan, jika sebenarnya sudah banyak ornamen asli pada Masjid Saka Tunggal yang sudah mengalami perubahan. Sehingga ornamen aslinya sudah tidak bisa lagi dilihat oleh generasi sekarang.

"Untuk bangunan masjid sudah mengalami perubahan di 1976, untuk melihat ornamen originalnya, generasi sekarang tidak bisa melihatnya, karena kehilangan bentuk ornamen di 1976, yang masih utuh hanya saka tinggal," ucapnya.

Pasalnya, berdasarkan catatan yang ada, Masjid Saka Tunggal masuk dan diakui sebagai salah satu cagar budaya pada tahun 1989, dan pada tahun 1976 masih bernama Masjid Baitussalam. Tapi jauh sebelum itu, Masjid Saka Tunggal tidak memiliki nama, hanya lebih dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai masjid Cikakak.

Hingga kini, tradisi yang masih kental dan masih terus dilestarikan oleh masyarakat sekitar Masjid Saka Tunggal adalah tradisi penjarohan atau jaroh yaitu ziarah dengan tujuan menghormati leluhur, dan biasa digelar setiap tanggal 26 Rajab. Dalam kegiatan tersebut biasanya warga bergotong - royong mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid dan juga makam sekitar masjid.

“Yang dimaksud jaroh itu adalah agar dijaga antara njaba lan njero atau menjaga luar dan dalam. Artinya kita menjaga tali silahturahmi dengan sesama dan juga menjaga kepercayaan kepada Allah,” tuturnya.

Bukan hanya bangunan, sejarah dan legendanya yang unik. Jema'ah masjid ini juga dikenal memiliki cara yang berbeda dalam menentukan hari-hari besar Islam, yakni dengan menggunakan perhitungan Jawa atau tidak bergantung pada bulan seperti tahun hijriyah.

Dalam Islam Aboge, dipercayai perhitungan berdasarkan delapan tahun atau sewindu. Satu windu terdiri atas tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari dengan hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.

Perhitungan Aboge sendiri mulai dipakai pada abad ke-14 oleh para wali. Penanggalan tersebut kemudian disebarluaskan oleh ulama Raden Rasid Sayid Kuning yang berasal dari Kerajaan Pajang

Sementara menurut Dosen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Wijayakusuma (Unwiku) Purwokerto, Yohana Nursruwening dan Wita Widyandini yang pernah meneliti pola permukiman komunitas Islam Aboge serta struktur bangunan Masjid Saka Tunggal di Desa Cikakak. Masjid tersebut diperkirakan sudah berusia ratusan tahun.

Hal tersebut diketahui berdasarkan angka 1288 yang terdapat di tiang atau saka tunggal masjid. 1288 merupakan tahun Hijriyah yang jika dikonversi ke tahun Masehi menunjuk pada tahun 1522.

“Angka 1288 itu diduga merupakan tahun Hijriyah dan jika dikonversi ke tahun Masehi maka menunjuk tahun 1522,” ujarnya.

Editor : EldeJoyosemito

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network