JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Raja intel Jenderal TNI LB Moerdani semasa hidupnya punya anak buah yang loyal.
Namanya Hans Hamzah, anggota TNI AD keturunan Tionghoa yang ditugaskan memjadi Satsus Intel anak buah LB Moerdani.
Sosok Hans Hamzah sangat misterius bahkan di kalangan TNI pun begitu. Sosok Hans Hamzah pun ditulis oleh Ken Conboy, penulis buku-buku tentang sejarah militer Asia dan operasi-operasi intelijen.
Ken dalam buku berjudul Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, dikutip Kamis (15/12/2022) menyebut Hamzah adalah salah seorang dari sedikit etnis Tionghoa di Satsus Intel, mempunyai bakat berbahasa. Dia berbicara dalam enam bahasa dan ahli dalam hal membuka kunci.
Menurut Ken, Hans Hamzah adalah anggota Satsus Intel yang terlibat dalam operasi bersandi Flamboyan bentukan Benny Moerdani. Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi ini secara khusus menargetkan koper Atase Militer Portugal Mayor Antonio Joao Soares yang datang ke Indonesia menuju Timor Timur (kini Timor Leste). Kala itu, Timor Timur merupakan koloni Portugal.
Hans Hamzah berperan krusial dalam Operasi Flamboyan pada 1975 itu. Setelah gagal membongkar isi koper Soers di Jakarta, Dading merancang siasat. Hans Hamzah menyamar sebagai Kepala Cabang Maskapai Merpati Airlines ketika Soares berada di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, bersiap terbang ke Kupang. Saat Soares melapor, Hamzah berimprovisasi bahwa visa sang atase harus mendapat persetujuan dari imigrasi.
“Mayor Antonio Joao Soares diminta untuk melapor ke kantor imigrasi setempat untuk pengecekan rutin. Hal ini sebenarnya merupakan tugas yang diemban oleh Kolonel Dading Kalbuadi atas perintah Brigjen Benny Moerdani dalam rangka mengetahui dokumen yang dibawa oleh perutusan Portugal,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan.
Soares tentu saja berang. Namun Hamzah dengan cerdik mengantarnya ke kantor Imigrasi di Denpasar. Saat Soares akhirnya dipertemukan dengan kepala Imigrasi di ruangannya, koper yang dibawa ditinggalkan di luar. Saat itulah Hamzah secepat kilat membuka kunci koper. Dokumen-dokumen rahasia Soares lantas dipotret prajurit intel lainnya yang bertugas sebagai fotografer.
Operasi Puyuh
Di luar operasi yang sangat sukses di Bali itu, Hans Hamzah juga sukses memimpin sebuah operasi mata-mata bersandi Puyuh. Operasi ini dibuat ketika Bakin mencuriga kedatangan Hugo Tinguely, mahasiswa asal Swiss ke Jakarta pada April 1977.
Bakin sebelumnya telah menerima memo dari CIA tentang kemungkinan serangan terhadap kampanye Golkar yang akan berlangsung di Stadion Senayan. Namun CIA menyebut informasi itu dari sumber yang masih diragukan.
Belakangan Bakin juga mendapat informasi dari mitra asingnya. Sebelum masuk Indonesia, Tinguely sebulan tinggal di Jepang. Di negara itu dia menjadi buruan polisi karena dianggap bersimpati dengan Tentara Merah Jepang. Bekal informasi itu menyimpulkan Tinguely sebagai target yang harus diawasi dan dikorek informasinya.
“Satsus Intel bergegas melakukan pengintaian terhadap mahasiswa yang dicurigai ini. Dengan bersandi Puyuh, tim ini dipimpin Hans Hamzah,” tutur Ken.
Di hotel tempat Tinguely menginap, Hamzah yang berpura-pura sebagai guru dari Singapura berkenalan di lobi. Dengan cepat mereka akrab. Kepada mahasiswa yang pernah belajar di Jerman Barat itu, Hamzah menunjukkan ada penginapan lebih murah. Tinguely setuju untuk melihat besoknya.
mereka bertemu. Hamzah membawa Tinguely ke guest house di Jalan Raden Saleh, Cikini yang berharga lebih murah. Tinguely setuju untuk tinggal di situ.
Begitu akrabnya, Hamzah juga mengajak Tinguely jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Saat itu, Tinguely sadar dirinya diintai oleh para spionase. Namun dia tidak pernah curiga sedikit pun kepada Hamzah.
“Indonesia banyak mata-mata,” katanya kepada Hamzah. Tinguely tahu diintai karena banyak tukang foto yang memotretnya dari kejauhan. Para tukang foto itu tak lain agen-agen intelijen di bawah komando Benny Moerdani langsung.
Kendati demikian, Operasi Puyuh ini ternyata tak ‘semenakutkan’ yang diperkirakan. Tinguely yang terlalu percaya kepada Hamzah dan banyak mengobral cerita tentang sepak terjangnya baik di Jepang maupun Jerman Barat, dianggap bukan sosok yang mengancam. “Dia tak lebih dari seorang tukang sorak ideologis daripada seorang operator teroris sejati,” kata Ken.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait