Oleh : Adhitya Ridwan Budhi Prasetyo Nugroho
“MATIKAN Mik Saat Partai Interupsi di Paripurna, Begini Kronologinya”, begitulah headline salah satu platform berita pada tanggal 25 Mei 2022. Dalam berita tersebut dijelaskan mengenai peristiwa salah satu peserta rapat mematikan microfon peserta lainnya saat menginterupsi Revisi Undang Undang yang menurutnya kurang pas.
Hal ini menuai banyak kontroversi publik mengenai sifat tercela yang seolah membungkam orang lain ketika menyampaikan pendapatnya. Publik menganggap bahwa peristiwa seperti ini merupakan cerminan dari model politik di Indonesia yang menghalalkan segala cara untuk menghentikan individu lain mencapai tujuannya.
Praktik politik ini juga merupakan panutan yang suram, karena dalam konteks psikologi menggambarkan pola pikir kepiting yang sebenarnya (crab mentality). Mentalitas kepiting adalah sikap iri hati yang mendorong individu untuk menghalalkan jalan apapun agar dapat mengungguli orang lain, yang pada akhirnya bertujuan untuk meraih kekuasaan.
Frasa sederhana yang paling tepat mendefinisikan crab mentality adalah “jika aku tak mendapatkannya, maka orang lain pun demikian”. Kepiting sadar bahwa ember tidak perlu ditutup, karena jika salah satu kepiting mencoba keluar dari ember tersebut, kepiting lain akan menyeretnya ke bawah.
Namun kepiting di dalam ember cenderung berusaha keras untuk bebas dari penangkarannya. Seiring berjalannya waktu, kepiting melambat atau mengalami depresi. Mentalitas kepiting adalah mental yang terjadi kepada individu yang gagal dan menginginkan orang lain gagal juga dengan cara menghalangi mereka untuk meraih kesuksesan.
Karena rasa iri mendasari perilaku seperti ini, maka tidak salah jika kita menganggap mentalitas kepiting sebagai bagian dari diri manusia. Mentalitas “kepiting dalam ember” juga dapat didefinisikan sebagai interaksi sosial yang kompetitif dan kontroversial di mana norma-norma kelompok mengenai rasa hormat, bantuan dan dukungan dilanggar.
Praktik merugikan satu sama lain telah menjadi hal yang umum. Namun, formasinya kini telah berbeda. Dahulu, metode kasar seperti pembunuhan atau kudeta umum, tetapi saat ini, menggunakan cara yang bersifat lebih halus, seperti melalui penyebaran informasi palsu (hoax), penghinaan, dan sejenisnya.
Tokoh yang pertama kali mengusung konsep Crab Mentality adalah David Wong, seorang penulis dan blogger dari Amerika Serikat. Dalam karyanya yang berjudul "Crab Mentality: How to Stop Letting Others Hold You Back", Wong memaparkan bahwa crab mentality adalah peristiwa yang umum terjadi di berbagai lapisan masyarakat, baik d kantor, sekolah, ataupun dalam lingkungan keluarga.
Istilah ini berasal dari analogi perilaku kepiting di dalam suatu keranjang yang mencengkeram rekan mereka saat salah satu mencoba memanjat untuk keluar dari keranjang. Wong menyediakan indikator yang menandakan seseorang menderita dari mentalitas kepiting ini, seperti rasa iri melihat orang lain mencapai kesuksesan, menyebarkan berita burung dan desas-desus untuk merusak reputasi orang lain, dan lain sebagainya.
Crab mentality dapat muncul di berbagai tempat. Penting untuk dapat mengidentifikasi tanda-tanda orang yang mungkin memiliki mentalitas kepiting agar dapat menghadapinya dengan tepat. Bersanding dengan individu crab mentality pasti akan menyulitkan perkembangan diri kita, terutama dalam mencapai tujuan dan cita cita. Ketika bertemu individu yang dianggap dapat menghambat perkembangan kita dalam berkarir, ada beberapa hal yang dapat dilakukan menurut Indriyani dkk dalam penelitiannya yang berjudul Crab Mentality: Penyakit Mental Interaksi Sosial, hal-hal tersebut adalah :
Pertama, memiliki ketekunan dan prinsip yang teguh sangat penting agar seseorang tidak terpengaruh oleh pendapat negatif orang lain. Ketika seseorang tekun dan gigih mengejar impian mereka, tidak perlu mendengarkan pandangan orang lain yang mungkin tidak mendukung. Terutama, hindari pendapat negatif dari mereka yang berusaha membuat seseorang menyerah dalam perjalanan mereka. Meskipun kegagalan mungkin terjadi, itu adalah bagian yang tak terhindarkan dari proses. Orang mungkin akan mencemooh atau merasa senang melihat kegagalan seseorang, namun daripada membiarkan diri tenggelam dalam kesedihan, lebih baik menggunakan kegagalan sebagai pelajaran untuk perbaikan diri dan menghindari kesalahan yang sama.
Kedua, menjauh dari lingkungan toxic adalah langkah penting. Menyingkir dari orang-orang yang tidak mendukung, tidak menghargai usaha, dan meremehkan upaya seseorang adalah tindakan bijak. Cari lingkungan yang positif dengan teman sefrekuensi yang optimis dan saling mendukung dalam mencapai impian masing-masing.
Menghindari orang-orang yang meragukan kemampuan seseorang untuk mencapai impian hanya akan membantu membangun suasana yang lebih positif dan mendukung. Seseorang dengan crab mentality akan menciptakan lingkungan sosial yang buruk bagi dirinya dan individu di sekitarnya.
Menurut buku “Kesehatan Mental” karya Diana Vidya Fakhriyani tahun 2017, perkembangan kesehatan mental individu ditentukan oleh kualitas kondisi psikologis / iklim lingkungan dimana individu berada. Individu yang berada di lingkungan sosial toxic pasti akan memperburuk kondisi mentalnya, begitupun sebaliknya.
Penulis:
Adhitya Ridwan Budhi Prasetyo Nugroho dari UIN Prof. K.H. SaifuddinZuhri Purwokerto
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait