Oleh: Dr. Hilma Paramita, SpKJ dan Dr. Taufik Hidayanto, SpKJ
BELUM lama kita merayakan hari kesehatan jiwa sedunia yang jatuh pada bulan Oktober lalu, bagaimana kabar kesehatan jiwa kita saat ini? Mari kita lihat di sekeliling kita, apa yang bisa kita baca di media, dengarkan dari perbincangan sekitar kita dan kita rasakan tiap waktunya. Judi online masih menjadi masalah yang belum juga tuntas. Kita dikagetkan dengan berita begitu banyaknya uang terserap di bisnis haram ini di tengah orang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan terdesak membayar hutang pinjol (pinjaman online).
Menkominfo mengabarkan perputaran judi online bisa mencapai 900T rupiah pada tahun 2024, naik berkali-kali lipat dibandingkan angka 327T di tahun 2023. Genderang perang sudah ditabuh dengan langkah menutup 2.625.000 lebih situs selama 17 Juli 2023 sampai 23 Juli 2024. Angka ini menggambarkan betapa menggiurkan bisnis ini bagi para bandar dan betapa menangisnya para korban judi ini (beserta keluarganya yang terdampak). Mulai dari kasus kekerasan sampai pembunuhan terkait juga banyak dilaporkan.
Mengapa begitu marak orang melakukan judi online?
Judi telah ada sejak lama, dalam sejarah budaya Cina kuni, Romawi, Yunani dan Mesir Kuno bahkan mungkin di seluruh penjuru dunia budaya judi ini telah lama dicatat dengan berbagai bentuknya. Otak manusia mendapat kesenangan dengan mempertaruhkan keberuntungannya atau nasib buruknya dalam sebuah permainan. Manusia suka hadiah dan mengejar kemenangan, namun seringkali otak yang sudah berimaji dan berilusi kemenangan ini tidak ingat akan kekalahan yang sudah terjadi atau risiko kekalahan yang kemungkinan lebih besar. Internet membuat banyak bentuk permainan yang dapat diakses dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Judi online ada dalam genggaman, bisa diakses lewat handphone tanpa harus ke kasino atau rumah judi, dari jumlah yang kecil dibawah 100 ribu rupiah.
Dengan gempuran iklan di mana-mana yang masuk ke ruang-ruang pribadi orang bisa bermain judi tanpa ada yang tahun bahkan anak-anak di bawah 10 tahun pun bisa mulai ikut bermain. Banyak orang melakukannya menjadi trend. Orang tergoda mencoba, ga akan bangkrut, cuma sedikit saja, begitu awalnya.
Algoritma bandar punya pola yang sangat pandai memainkan perasaan para penjudi hingga ingin terus bermain, terus mengejar kemenangan, atau ingin membalas dendam membayar kekalahan, dan terus mengabaikan risikonya. Di otak terjadi banjir adrenalin dan banjir dopamin yang memberikan rasa senang berlipat-lipat terbuai ilusi kemenangan dan sensasi ketegangan.
Ini yang menyebabkan dari bermain sesekali terus meningkat secara frekuensi dan jumlah yang dipertaruhkan. Kadang judi online berkedok trading sehingga pemain merasa sedang berinvestasi. Saat bermain segala kesulitan terlupakan, rasa kesepian, sedih, stress menghadapi tekanan hidup sementara digantikan kesenangan permainan. Judi dapat menyebabkan seseorang mengalami adiksi/kecanduan. Rasa senang berlebihan, menghabiskan banyak waktu, perhatian, uang untuk melakukannya dan mengabaikan kewajiban lain yang lebih penting. Kewajiban terhadap diri, keluarga, pekerjaan, pendidikan dan sosial terabaikan.
Seiring bertambah banyaknya kekalahan, kesenangan sesaat itu pun sirna karena harus membayar kekalahan, hutang, tagihan-tagihan lain. Maka mulailah terjadi kecemasan, depresi, perilaku yang tidak dapat mengendalikan dorongan impulsivitas, kekerasan, bahkan keinginan mengakhiri hidup. Pola ini terus berkembang dan menjadi kronik. Kadang teringat kekalahan dan ingin berhenti sesaat, namun sering kali kemudian kembali berjudi lagi, hutang di mana-mana, bahkan sebagian terlilit pinjaman online, kadang mengambil milik orang lain dan memicu tindak kriminal lainnya.
Editor : Arbi Anugrah
Artikel Terkait