Manajemen Kinerja di Bawah Bayang-bayang Krisis Integritas

Tim iNews Purwokerto
Siti Zulaihah Mahasiswa Magister Administrasi Publik, FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Foto: Dok Pribadi

Oleh: Siti Zulaihah

DALAM wacana reformasi birokrasi yang telah berjalan lebih dari dua dekade, istilah manajemen kinerja sering menjadi mantra yang diulang di berbagai forum resmi pemerintahan. Pemerintah terus menekankan pentingnya peningkatan kinerja aparatur sipil negara (ASN) sebagai syarat mutlak menuju birokrasi yang efektif, efisien, dan berorientasi hasil. Namun, di balik berbagai instrumen dan indikator yang tampak rapi dalam sistem pelaporan, masih bersemayam satu persoalan laten yang sulit terurai: krisis integritas. Birokrasi Indonesia tampak produktif di atas kertas, tetapi rapuh di fondasi moral.

Fenomena ini semakin terlihat ketika sejumlah pejabat publik tersangkut kasus korupsi, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang, bahkan di tengah gencarnya program reformasi birokrasi. Tahun 2024–2025, publik kembali disuguhi berita tentang praktik korupsi di kementerian strategis dan lembaga negara, termasuk di sektor pengadaan barang dan jasa, pendidikan, hingga pemerintahan daerah. Ironisnya, sebagian dari mereka adalah aparatur yang di atas kertas dinilai “berkinerja baik”. Paradoks ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana sistem manajemen kinerja kita benar-benar mencerminkan akuntabilitas dan moralitas publik?

Manajemen Kinerja yang Terjebak pada Logika Administratif

Secara konseptual, manajemen kinerja dalam birokrasi publik dirancang untuk memastikan setiap aparatur bekerja sesuai sasaran strategis organisasi, dengan indikator kinerja utama (IKU) sebagai tolok ukur capaian. Sistem ini diperkuat oleh mekanisme performance agreement, evaluasi kinerja tahunan, hingga pemberian tunjangan kinerja berbasis hasil. Namun dalam praktiknya, pendekatan ini sering kali berhenti pada logika administrative mengejar skor dan capaian indikator, bukan substansi pelayanan publik.

Kinerja ASN dinilai dari angka serapan anggaran, kecepatan pelaporan, dan volume kegiatan, bukan dari kualitas dampak kebijakan terhadap masyarakat. Akibatnya, muncul budaya “birokrasi formalistik”: yang penting sesuai format, bukan sesuai nilai. Ketika nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab publik tidak tertanam dalam sistem kinerja, maka reformasi birokrasi kehilangan ruhnya.

Hal ini sejalan dengan pandangan Denhardt & Denhardt (2015) dalam The New Public Service, bahwa administrasi publik seharusnya tidak sekadar mengelola hasil, tetapi juga menjaga nilai-nilai demokrasi, etika, dan kepentingan publik. Kinerja birokrasi yang diukur hanya melalui efisiensi dan efektivitas tanpa dimensi moral hanyalah “produktivitas kosong”.

Reformasi Birokrasi yang Kehilangan Arah Nilai

Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional 2025–2045 sejatinya memiliki visi membentuk birokrasi berkelas dunia yang adaptif, bersih, dan melayani. Namun, refleksi dari dua dekade pelaksanaannya menunjukkan bahwa pencapaian indikator reformasi lebih banyak berfokus pada kelembagaan dan tata laksana, bukan pada pembentukan etika publik.

Kementerian PANRB memang berhasil mendorong percepatan digitalisasi layanan, penyederhanaan jabatan struktural, serta penerapan e-government di berbagai daerah. Akan tetapi, di sisi lain, governance yang baik tidak otomatis melahirkan good people. Reformasi birokrasi tanpa reformasi integritas justru menciptakan aparatur yang cakap secara teknis, tetapi abai terhadap moralitas.

Krisis integritas ini berakar pada lemahnya penegakan nilai dalam birokrasi. Banyak ASN masih memandang integritas sebatas kepatuhan formal terhadap aturan, bukan kesadaran etis dalam pelayanan publik. Budaya kerja yang pragmatis asal target tercapai menggeser makna kinerja menjadi sekadar formalitas. Tidak heran bila reformasi birokrasi sering disebut berhasil secara administratif, tetapi gagal secara substantif.

Kasus-Kasus Kontemporer: Cermin Krisis Integritas

Beberapa kasus yang muncul belakangan mempertegas bahwa masalah kinerja birokrasi di Indonesia bukan hanya soal kapasitas, tetapi juga soal karakter. Kasus korupsi di lingkungan kementerian yang mengelola dana besar untuk program masyarakat, penyimpangan dalam pengadaan barang publik, hingga manipulasi laporan kinerja, menunjukkan bahwa sistem pengawasan belum sepenuhnya menembus lapisan etika aparatur.

Sebagai contoh, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2024 menunjukkan masih tingginya tingkat ketidakpatuhan dalam pelaporan kinerja dan pengelolaan keuangan daerah. Banyak daerah masih memanipulasi data capaian untuk mempertahankan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Fenomena ini menandakan bahwa pencapaian indikator kinerja belum tentu mencerminkan efektivitas tata kelola, apalagi integritas birokrasi.

Kasus lainnya adalah penyalahgunaan jabatan dalam rekrutmen dan promosi ASN di sejumlah daerah. Praktik nepotisme dan jual beli jabatan yang kembali terungkap memperlihatkan bahwa nilai meritokrasi masih rapuh dihadapan kepentingan pribadi. Semua ini menunjukkan bahwa performance management tanpa integrity management hanyalah kulit tanpa isi.

Dilema Efektivitas dan Moralitas

Dalam teori administrasi publik modern, kinerja yang tinggi tidak selalu identik dengan keberhasilan moral. Efektivitas administrasi yang tidak disertai etika publik justru berpotensi menimbulkan penyimpangan baru. Sebuah birokrasi bisa sangat efisien dalam menjalankan prosedur, tetapi sekaligus sangat permisif terhadap pelanggaran nilai.

Krisis integritas yang kita hadapi hari ini bukanlah sekadar masalah individu, tetapi sistemik. Ketika indikator kinerja dirancang tanpa memasukkan dimensi moral, maka pelanggaran etika menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Birokrasi pun terjebak dalam moral hazard: melakukan hal yang “benar” menurut aturan, tetapi “salah” menurut hati nurani publik.

Manajemen kinerja yang ideal seharusnya menempatkan integritas sebagai fondasi, bukan sekadar pelengkap. Integritas tidak dapat diukur semata dengan angka, tetapi dapat ditumbuhkan melalui budaya organisasi, keteladanan pemimpin, dan sistem penghargaan yang menekankan nilai moral. Pemimpin publik perlu menunjukkan moral leadership memimpin bukan hanya dengan target, tetapi dengan teladan.

Editor : Arbi Anugrah

Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network