PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id-Di balik berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) dan munculnya praktik demokrasi parlementer awal di Tanah Air, ada sosok Raden Mas (RM) Margono Djojohadikusumo.
Ia adalah seorang negarawan, birokrat, dan pemikir ekonomi yang pengaruhnya membentang dari masa kemerdekaan hingga fondasi sistem keuangan nasional.
Dia lahir pada 16 Mei 1894 di Purwokerto, dan wafat pada 25 Juli 1978 di usia 84 tahun.
Margono berasal dari keluarga priyayi. Ia adalah cucu buyut dari Panglima Banyakwide, pengikut setia Pangeran Diponegoro, serta anak dari asisten Wedana Banyumas.
Pendidikan dasarnya ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas pada tahun 1900–1907, yang kala itu hanya dapat diakses oleh segelintir kaum pribumi terdidik.
Margono bukan hanya tokoh ekonomi, tetapi juga memainkan peran penting dalam dinamika politik dan ketatanegaraan pasca-kemerdekaan.
Sehari setelah Soekarno dan Mohammad Hatta dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, Margono ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) untuk pertama kalinya.
Dalam posisi strategis itu, ia mengusulkan pembentukan Bank Sirkulasi sebagai langkah untuk membangun sistem keuangan nasional yang berdaulat.
Usul tersebut mendapat restu dari Presiden dan Wakil Presiden. Pada 16 September 1945, Margono diberi mandat langsung untuk mempersiapkan pendirian bank milik negara.
Proses itu berpuncak pada lahirnya Bank Negara Indonesia pada 5 Juli 1946, dengan dirinya sebagai Direktur Utama pertama.
“Bank ini adalah jawaban atas kebutuhan negara yang baru merdeka untuk memiliki lembaga keuangan yang mampu menopang ekonomi nasional,” demikian prinsip yang dipegang Margono dalam pendirian BNI.
Tak hanya di bidang ekonomi, kontribusi Margono juga tercatat dalam sejarah parlemen Indonesia. Ia menjadi pelopor penggunaan “Hak Angket” oleh DPR, sebuah mekanisme penting dalam sistem pengawasan legislatif.
Pada awal 1950-an, ia mengajukan resolusi agar DPR melakukan penyelidikan terhadap tata kelola devisa negara. Panitia angket yang terbentuk dipimpinnya langsung dan menjadi cikal bakal pengawasan parlemen dalam tata kelola pemerintahan.
Di balik kiprah publiknya, Margono juga dikenal sebagai keluarga yang punya kontribusi besar bagi negeri ini.
Ia adalah ayah dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, begawan ekonomi Indonesia, serta dari Kapten Anumerta Soebianto dan Taruna Soejono Djojohadikoesoemo yang gugur dalam Pertempuran Lengkong.
Nama keduanya kemudian dikenang dalam nama cucunya, Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo. Bahkan kemudian Prabowo menjadi Presiden Indonesia.
Meski namanya tak sepopuler tokoh-tokoh besar lainnya, jejak Margono tetap hidup. Namanya diabadikan sebagai nama gedung di Universitas Gadjah Mada dan sebuah jalan di Jakarta. Kisah hidupnya juga menjadi inspirasi dalam film Merah Putih.
Bahkan, kini ada kelompok masyarakat yang mengusulkan RM Margono Djojohadikusumo menjadi Pahlawan Nasional.
Margono Djojohadikusumo bukan hanya pendiri BNI, tetapi juga salah satu peletak dasar etika kenegaraan, perintis sistem keuangan nasional, dan pelopor akuntabilitas pemerintahan. Sebuah warisan yang tetap relevan hingga hari ini.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait