Sadewo juga menyampaikan imbauan tegas kepada para eksportir gula semut di Banyumas agar ikut berpartisipasi aktif mendaftarkan penderes binaannya ke BPJS Ketenagakerjaan. “Eksportir ini harus menyisihkan sebagian keuntungan untuk melindungi penderes. Ini bukan soal rugi, tapi soal berbagi,” tegasnya.
Ia menolak keras wacana pemotongan harga gula sebesar Rp500 per kilogram dari penderes untuk membayar iuran BPJS. Menurutnya, biaya itu adalah tanggung jawab perusahaan yang selama ini mendapatkan keuntungan dari ekspor gula semut.
Dari sisi regulasi, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Wilayah Jateng-DIY Hesnypita menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, semua pekerja, baik formal maupun informal, wajib mendapatkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan. “Petani penderes termasuk pekerja yang memiliki aktivitas ekonomi. Negara hadir untuk melindungi mereka,” ujarnya.
Senada, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Purwokerto Muhammad Ramdhoni mengungkapkan bahwa dari sekitar 14.000 penderes di Banyumas, baru sekitar 7.000 yang sudah terlindungi BPJS, baik melalui APBD, program Jimpitan, maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Ia menargetkan seluruh penderes di Banyumas bisa terlindungi pada 2025.
“Dengan iuran hanya Rp16.800 per bulan, pekerja sudah mendapat manfaat besar, termasuk santunan kematian hingga bantuan pendidikan anak sampai perguruan tinggi,” jelas Ramdhoni.
Upaya bersama antara Pemkab Banyumas, BPJS Ketenagakerjaan, koperasi, dan eksportir diharapkan dapat menciptakan ekosistem kerja yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan bagi ribuan penderes di Banyumas.
Editor : EldeJoyosemito
Artikel Terkait