get app
inews
Aa Read Next : Ribuan Pelari Ikuti Etawalin Dieng Run Lari Atas Awan 2023

Fenomena Embun Beku di Dieng, Ini Penjelasan Lengkap BMKG

Kamis, 30 Juni 2022 | 12:26 WIB
header img
Embun beku di dedaunan. (Foto: Istimewa)

DIENG, iNews,id- Fenomena suhu udara dingin sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli - September). 

Menurut Kepala Stasiun Meteorologi Kelas II Ahmad Yani Semarang Sutikno, wilayah Pulau Jawa hingga NTT menuju periode puncak musim kemarau. Periode ini ditandai pergerakan angin dari arah timur, yang berasal dari Benua Australia. 

“Pada periode tersebut, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin, adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia atau dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia,”jelasnya dalam rilis tertulis yang diterima iNews Purwokerto pada Kamis (30/6/2022).

Dijelaskannya, angin monsun Australia yang bertiup menuju wilayah Indonesia melewati perairan Samudera Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin. 

Selain dampak angin dari Australia, lanjutnya, berkurangnya awan dan hujan di Pulau jawa hingga Nusa Tenggara turut berpengaruh ke suhu yang dingin di malam hari. Sebab, tidak adanya uap air dan air menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer. 

Tak hanya itu, langit yang cenderung bersih awannya (clear sky) akan menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepas ke atmosfer luar. Sehingga kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari. 

Hal ini yang kemudian membuat udara terasa lebih dingin terutama pada malam hari. Secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau. 

Fenomena ini merupakan hal yang biasa terjadi tiap tahun, bahkan hal ini pula yang nanti dapat menyebabkan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi atau wilayah pegunungan lainnya, berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang.

“Embun upas atau bun upas menurut penduduk Dieng adalah Embun Racun, fenomena ini ketika suhu menjadi sejuk, lantas turunlah embun-embun yang dingin lagi beku. Dinamai "upas" karena memang efeknya membuat tanaman mati tersiakan,”jelasnya.

Kerusakan tersebut tidak dapat dihindari jika embun beku tiba lebih awal sebelum masa panen. Selain memberikan dampak negatif, embun beku dieng juga ternyata mendatangkan dampak positif lainnya. 

“Fenomena kemunculan embun beku akibat suhu dingin ekstrem menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Dieng. Meski merupakan pemandangan yang indah, pemerintah tetap menghimbau para wisatawan untuk berhati-hati,”katanya.

Suhu dingin ekstrem dapat membahayakan kesehatan bagi wisatawan yang ingin menikmati fenomena es di hamparan rumput dan dedaunan pada puncak Dieng tersebut. 

Beberapa faktor yang mungkin berperan terbentuknya embun beku yang didahului suhu dingin ekstrem di Dieng antara lain adalah gerak semu matahari, intrusi suhu dingin dan laju penurunan suhu terhadap ketinggian. Dalam catatan kami, kejadian fenomena embun upas di kawasan Dataran Tinggi Dieng Banjarnegara pada Tahun 2021 diawali pada Bulan Mei, tepatnya tanggal 10 Mei 2021. 

Kejadian berikutnya terjadi pada tanggal 7 Juli 2021 dan berita terakhir di tahun 2021 menyebutkan terjadi lagi selama 2 (dua) hari berturut-turut pada tanggal 15-16 Juli 2021. Kemudian pada tahun 2022 embun upas terjadi lebih dini yakni di awal tahun 2022 tepatnya tanggal 04 Januari 2022. 

Ini merupakan suatu anomaly dari suatu kejadian embun upas yang disebabkan kondisi meteorologis saat itu memenuhi syarat terjadinya embun upas. Kemudian yang terakhir disebutkan terjadi baru baru ini pada tanggal 30 Juni 2022. Menurutnya, fenomena suhu dingin malam hari dan Embun beku di lereng pegunungan Dieng lebih disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung. 

Pada saat puncak kemarau, memang umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. 

“Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan. Selain itu kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara,”jelas Sutikno.

Pada kondisi puncak kemarau saat ini di Jawa, beberapa tempat yang berada pada ketinggian, terutama di daerah pegunungan, diindikasikan akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celsius. 

Hal itu, disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, lebih lebih pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan. Uap air di udara akan mengalami kondensasi pada malam hari dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. 

Air embun yang menempel di pucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau nol derajat, sehingga terjadilah embun upas/embun beku di daerah tersebut. 

Di Indonesia, beberapa tempat pernah dilaporkan mengalami fenomena ini, yaitu daerah dataran tinggi Dieng, Gunung Semeru dan pegunungan Jayawijaya, Papua.

 

Editor : Elde Joyosemito

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut