PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id - Menyambut HUT Ke-77 Republik Indonesia di tahun 2022, perlu mengulik kembali banyaknya sejarah para pahlawan maupun setiap bangunan yang menjadi pelopor Kemerdekaan Indonesia. Salah satunya Monumen Poedjadi Djaring Bandajoeda terletak di Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.
Monumen itu menjadi saksi peristiwa pertempuran pejuang Indonesia melawan Belanda saat agresi militer kedua tahun 1948. Peristiwa bersejarah itu terjadi saat Belanda menguasai Purwokerto dan mengingkari gencatan senjata dalam perjanjian Renville tentang batas demarkasi.
Purwokerto pernah menjadi jalur logistik perbekalan senjata Belanda melalui jalur Purwokerto - Ajibarang. Hal tersebut dilakukan sebelum adanya pertempuran di wilayah Desa Gunung Lurah. Belanda menganggap bahwa jalur tersebut merupakan jalur maut (doden weg), seperti jalan Cirebon - Kuningan -Ciamis, Purbalingga-Belik, Singasari- Malang- Batu (Jatim). Peristiwa sejarah tersebut tertulis dalam buku yang berjudul, 'Banyumas Membara Era Tahun 1945-1950' dikutip iNews Purwokerto.
Pada waktu tertentu, untuk pengangkutannya diperlukan kendaraan lapis baja. Kadang dikerahkan juga beberapa puluh truk dengan pengawalan yang ketat hingga membentuk sebuah konvooi kendaraan yang panjang.
Para gerilyawan, pasukan TNI dan kesatuan bersenjata lain selalu mengganggu jalur perbekalan ini. Mereka berhasil menggempur dan meranjau konvooi-konvooi tersebut.
Jum'at akhir bulan September 1947 pukul 04.00 pagi, satu regu pasukan pelajar IMAM dipimpin oleh Sidharta berangkat dari markasnya di Gunung Lurah untuk mengadakan penghadangan di Mindhik, suatu desa di tepi jalan raya Ajibarang - Purwokerto, dekat Cilongok. Sekitar pukul 09.00 WIB datanglah konvooi truk Belanda dari arah Purwokerto dengan kawalan beberapa panser di depan dan bren carrier di belakang.
Panser dan beberapa truk dibiarkan lewat, tetapi truk terakhir yang diiringi oleh sebuah bren carrier yang tiba tepat di bawah stelling (Pasukan Gerilya yang melakukan penyerbuan), oleh Sidharta Cs langsung ditembaki dengan gencar, sehingga truk dan bren carrier berhenti. Beberapa tentara Belanda mencoba turun untuk membalas tembakan pasukan gerilya RI.
Tanpa mereka ketahui bahwa Sidharta Cs hanya berjarak 2 —3 meter, maka dengan mudah dan penuh keberanian Sidharta Cs menembaki musuh satu demi satu. Beberapa tentara Belanda tampak jatuh bergelimpangan di jalan raya. Bren carrier mundur mencari posisi, tetapi jatuh terperosok masuk parit yang dalam. Tentara Belanda yang keluar dari kendaraan itu pula dengan mudah dapat ditembak mati.
Tembak-menembak hebat terjadi. Korban Belanda sekitar delapan orang tentara. Tidak lama kemudian datang bantuan tentara Belanda dari Cilongok, karena di sana memang ada pos Belanda. Pasukan pelajar IMAM kembali ke markasnya.
Jalan raya antara Purwokerto - Ajibarang sampai perbatasan Bumiayu berjarak kurang lebih 40 km merupakan jalur yang terhitung sering dilalui kendaran musuh. Sepanjang kanan-kiri jalan terdapat banyak tebing dan pegunungan, serta sedikit tempat terbuka sehingga sangat ideal dan strategis untuk melakukan pencegatan.
Penghadangan lainnya juga pernah dilakukan dijalur ini. Dengan seluruh kekuatan dari desa Kesegeran berangkat mengadakan pencegatan di tiga tempat sekaligus. Ketika konvoi Belanda yang berkekuatan tiga truk tepat dihadapan stelling Darjoen, satu truk diloloskan untuk jatah pasukan yang ada di Pageraji, sedangkan yang dua truk lainnya langsung disergap.
Pertempuran berlangsung hingga pukul 09.00 WIB, 10 orang musuh dapat dibunuh, dan merampas senjata dan menghancurkan truk-truk. Karena Belanda penasaran dan memiliki komunikasi yang lancar, beberapa saat kemudian datang bantuan mengendarai bren carrier.
Desa Karanggude dibakar Belanda dan banyak rakyat yang ditembaki. Karena pasukan Indonesia tidak memiliki senjata penghancur kendaraan lapis baja, maka pasukan kembali ke desa Kesegeran.
Selain penghadangan di jalur Purwokerto - Ajibarang, jalan kereta api juga dianggap vital oleh kedua pihak, dibeberapa tempat pernah dibongkar oleh para gerilyawan bersama -sama rakyat setempat. Setelah berlakunya perjanjian Renville oleh Belanda dapat diperbaiki lagi hingga berfungsi sampai ke wilayah Bumiayu.
Sepanjang jalan KA ditempatkan pos-pos keamanan Belanda salah satunya yaitu di pabrik minyak kelapa Karanggandul. Sesuai dengan sasaran perang gerilya, jalan KA harus dikuasai dan dirusak, maka terjadilah pertempuran-pertempuran di sepanjang jalur KA.
Ketika itu Poedjadi mendapat informasi dari seorang masinis KA yaitu Pak Koeswadi asal Tumiyang dari stasiun Karangsari yang pro terhadap tentara Indonesia. Dia mengatakan jika pada hari Minggu akan bertugas menjalankan KA yang melewati daerah Panembangan. Pada malam itu juga Kompi Poedjadi yang berada di desa tersebut dengan dibantu pejuang setempat mengadakan persiapan.
Prajurit Salimin yang berasal dari Kie Hardojo yang sedang cuti di desa, pada malam itu juga bersama-sama pejuang setempat memasang rintangan jalan, menutup jalan dari Panembangan ke jurusan Cilongok dengan batu untuk menghambat bantuan dari arah selatan, begitu pula yang dari jurusan Karangsari.
Untuk menghentikan KA yang akan melewati bawah jembatan jalan raya, di jembatan tersebut digantungi batu-batu besar. Diatas rel diberi tumpukan batu-batu besar yang didalam tumpukan tersebut diberi karung berisi Tawon Baluh (lebah penyengat), yang diambil oleh Bakri dari desa Langgongsari.
Pada pagi harinya sebagian pasukan dengan pejuang setempat melakukan stelling untuk mencegat Belanda yang datang dari selatan, sebagian lagi mencegat Belanda yang datang dari Karangsari.
Pada sekitar pukul 09.00 WIB kereta api dengan masinis Pak Koeswadi betul-betul lewat. Sesuai dengan kode yang disepakati, dari jauh Pak Koeswadi sudah membunyikan suling kereta api dengan bunyi yang menunjukkan jumlah gerbong yang berisi pasukan.
Setelah sampai pada tempat sasaran, kereta api diberhentikan, karena ada gundukan batu yang disangka bom oleh Belanda. Kurang lebih satu regu pasukan Belanda yang mengawal kereta api di muka lokomotif, dalam gerbong terbuka yang dikelilingi pasir dalam karung, pasukan Belanda turun untuk memeriksa tumpukan batu tersebut.
Pada waktu membongkar batu dan membuka karung, lebah penyengat keluar berhamburan dan menyengat mereka. Dalam situasi yang konyol, serdadu Belanda langsung disergap oleh pasukan Poedjadi yang sudah siap, hingga terjadilah pertempuran seru. Masinis Koeswadi ditembaki tetapi sengaja tidak dikenakan, sedangkan gerbong kereta api ditembaki terus menerus.
Menghadapi situasi ini, maka kereta api mundur, sedangkan pasukan pengawal tertinggal karena dihujani tembakan. Akhirnya pasuka Poedjadi dapat menahan hidup empat orang dan menembak mati lima orang Belanda, merampas lima senjata jenis LE dan satu pucuk senjata bren.
Hari berikutnya, Senin Wage setelah pertempuran di Panembangan, pasukan Poedjadi berangkat menuju Desa Gunung Lurah sebelah timur Panembangan dan menempatkan diri di sana. Pada siang hari, pasukan Belanda kurang lebih dua regu yang bermarkas di grumbul Damaraja berpatroli ke Desa Gunung Lurah.
Memang setiap beberapa hari sekali, Belanda selalu melakukan patroli keliling ke beberapa wilayah. Sejak dikuasainya Kota Purwokerto oleh Belanda, hampir semua pejuang dan pemerintahan kala itu bergeser ke utara Kota Purwokerto atau sekitar lereng kaki Gunung Slamet termasuk Desa Gunung Lurah.
Ketika itu, seorang petani yang tengah berada di sawah melihat ada banyak tentara Belanda yang tengah melintas jembatan gantung di selatan jalan kereta api menuju Gunung Lurah. Petani lari pulang untuk melaporkan kepada tentara Indonesia yang tengah mencuci pakaian di sungai dan sarapan, petani tersebut mengatakan jika ada Belanda mau masuk Gunung Lurah.
Mendapatkan laporan tersebut, para pejuang yang berada di Gunung Lurah kemudian bersiap untuk menyambut kedatangan dua regu pasukan Belanda yang sedang berpatroli. Seluruh pasukan yang dipimpin oleh Komandan Kompi Poedjadi kemudian bersiap menyergap pasukan Belanda ditengah sawah.
Tentara Indonesia siap dengan formasi tapel kuda, disergap seperti ikan yang mau di jaring. Belanda terus masuk ke Gunung Lurah, tapi tentara Indonesia diam dan tidak membunyikan apa-apa, hingga Belanda masuk perangkap. Belanda terkejut karena diserang.
Mendapatkan serangan mendadak tersebut, Belanda berulang kali meminta bantuan. Pertempuran berlangsung seharian hingga sekitar pukul 16.00 WIB, namun pasukan Belanda tidak bisa memasuki Desa Gunung Lurah, mereka terus ditembaki oleh tentara Indonesia.
Pertempuran tersebut menyebabkan banyak korban dari tentara Belanda dan hanya beberapa gelintir yang bisa menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian datang bantuan musuh berupa satu pesawat capung dan dua pesawat pemburu (cocor merah) melaksanakan serangan udara.
Pada malam harinya, karena belum puas dengan serangan udara, mulai dari pukul 19.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB, desa tersebut dihujani peluru canon dari arah Purwokerto, mengakibatkan korban rumah-rumah penduduk hancur, bahkan seorang nenek terkena pecahan peluru canon, beberapa orang lainnya luka ringan. Untuk mengenang peristiwa ini di desa Gunung Lurah Lurah dibuat tugu peringatan.
Rakyat Banyumas pantas berbangga, karena lahir dari generasi yang secara turun-temurun memiliki tradisi keprajuritan. Secara jelas, sosok sosok pejuang tersebut seperti Jenderal Besar Soedirman, Gatot Soebroto, Soerono, Mr. Iskak Tjokroadisoerjo, Brotosiswojo, Poedjadi, Koesworo, Hardojo, Sajono dan sosok lain yang telah mengharumkan nama Banyumas.
Maka jangan pernah bertanya apakah rakyat Banyumas berjuang? Tampaknya jiwa dan semangat berkorban, jiwa semangat satria yang luhur, semangat jiwa berjuang yang patriotik dan heroik bukanlah sesuatu yang baru tertanam dalam diri bangsa Indonesia, dalam diri rakyat Banyumas khususnya. Tapi jauh sebelum Proklamasi Republik Indonesia dikumandangkan.
Editor : Pepih Nurlelis