Mengutip Wikipedia, pada 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada 6 Desember 1823 saat sedang bertamasya. Sri Sultan Hamengku Buwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri. Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sinuhun Jarot, Seda Besiyar.
Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus jika ia tewas akibat diracun saat sedang bertamasya. Putra mahkota yang belum genap berusia tiga tahun kemudian diangkat sebagai raja, bergelar Hamengkubuwono V.
Dikutip dari situs kratonjogja.id disebutkan, kedekatan Pangeran Diponegoro dengan adiknya, Sri Sultan Hamengkubuwana IV, digambarkan seperti Kresna yang mengajari Arjuna. Ketika sang raja dikhitan pada 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro sendiri yang menutupi mata adiknya dengan kedua belah tangannya.
Selain itu, dalam Kitab Kedung Kebo dan Babad Ngayogyakarta disebutkan jika Pangeran Diponegoro sangat memperhatikan pendidikan sang raja. Tidak jarang, dari Tegalrejo, Pangeran Diponegoro menemui sultan belia untuk menceritakan kisah-kisah budi pekerti dari kitab Fatah Al-Mulk dan Raja-Raja khayali Arab maupun Syiria.
Sang pangeran juga sering membacakan naskah-naskah penting seperti Serat Ambiya, Tajus Salatin, Hikayat Makutha Raja, Serat Menak, Babad Keraton, Arjuna Sasrabahu, Serat Bratayudha, dan Rama Badra. Untuk mendukung pendidikan sang raja kecil ini, Ratu Ibu juga menunjuk Kyai Ahmad Ngusman – kepala pasukan Suronatan dan Letnan Abbas –perwira Sepoy untuk mengajar baca Al Quran dan baca tulis Melayu.
Kedekatan Pangeran Diponegoro dengan keraton mulai renggang saat Patih Danurejo IV semakin menancapkan pengaruhnya di Kasultanan. Patih Danurejo IV mendukung sistem sewa tanah untuk swasta, praktek yang mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk kasultanan.
Editor : Arbi Anugrah