Bahkan, Patih Danurejo IV juga menempatkan saudara-saudaranya di posisi-posisi strategis. Hingga pengusaha-pengusaha Eropa dapat menjalankan usaha perkebunan yang besar seperti kopi dan nila hingga pada masa tersebut.
Puncak ketegangan antara Pangeran Diponegoro dengan Patih Danurejo IV terjadi tatkala Garebeg Sawal pada tanggal 12 Juli 1820. Di hadapan Sultan yang sudah mulai berkuasa secara mandiri itu, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danurejo IV yang telah menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.
Hanya berselang dua tahun sejak menjalankan pemerintahan secara mandiri, Sri Sultan Hamengkubuwana IV meninggal dunia. Di hari beliau wafat, 6 Desember 1823 (22 Rabingulawal 1750), Sri Sultan Hamengkubuwana masih berusia 19 tahun.
Dalam beberapa catatan disebutkan beliau meninggal dunia setelah kembali dari kunjungan ke pesanggrahannya. Maka kemudian nama beliau dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar. Sri Sultan Hamengkubuwana dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri.
Peninggalan Hamengkubuwana IV
Masa pemerintahan mandiri beliau yang hanya berjalan selama dua tahun membuat segala kebijakan lebih banyak dikendalikan oleh Ratu Ibu, Patih Danurejo dan Belanda. Oleh karena itu bisa dimaklumi jika tidak ada karya sastra besar maupun seni yang dihasilkan pada masa Sri Sultan Hamengkubuwana IV.
Meski demikian, terdapat dua buah kereta yang saat ini masih berada di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, yaitu Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro yang merupakan peninggalan Sultan HB IV. Dua buah kereta kecil tersebut sengaja dirancang untuk kebutuhan pesiar yang sering dilakukan oleh Sri Sultan. (diolah berbagai sumber)
Sumber: - kratonjogja.id
- wikipedia
Editor : Arbi Anugrah