JAKARTA, iNewsPurwokerto.id - Paylater jadi biang kerok banyak anak muda terjerat utang hingga menumpuk karena tak mampu bayar.
Paylater adalah layanan tunda bayar yang sangat mudah digunakan hingga membuat anak-anak muda terjerat utang. Apalagi anak-anak muda saat ini sangat akrab dengan penggunaan gadget.
Pemahaman rendah terkait risiko paylater dan mitigasi risiko gagal bayar memicu fitur Buy Now Pay Later (BNPL) berakhir jadi jerat utang yang melilit.
"Di media sosial sebenarnya sudah dibahas soal paylater yang berujung gagal bayar berulang kali. Di mana sejumlah pengguna Twitter membagikan tangkapan layar yang menunjukkan tagihan paylater yang membuatnya merasa “sesak” membayar," ujar Peneliti Institute for Development of Economic Studies (Indef), Nailul Huda.
Nailul Huda pun mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyebutkan, karakter pengguna yang kesulitan membayar tunggakan kredit menjadi semakin muda.
“Ini perlu diwaspadai untuk karakter pinjaman macet itu sekarang perkembangannya lebih tinggi untuk peminjam yang usianya di bawah 19 tahun,” kata Nailul, dikutip dari BBC Indonesia, Jumat (30/12/2022).
“Karena sistem paylater ini mudah, bisa connect secara digital, generasi muda yang lebih efektif banyak yang mengajukan padahal belum punya pendapatan,” tambahnya.
Nailul termasuk yang setuju bahwa siapa pun berhak mendapatkan akses kepada kredit, namun dia mengatakan pengukuran atas kemampuan penggunanya untuk membayar kembali mesti lebih akurat.
“Kalau untuk anak-anak di bawah 19 tahun misalnya, sebaiknya ada semacam persetujuan dari orang tua atau sejenisnya. Kalau pun disetujui sebaiknya diberi limit pinjaman yang rendah,” kata dia.
Berdasarkan data OJK, angka kredit macet paylater telah mencapai 7,61% pada September lalu.
Menurut Indef, kasus-kasus pinjaman macet makin banyak terjadi pada pengguna berusia di bawah 19 tahun yang belum berpenghasilan.
“Rata-rata kredit macetnya itu Rp2,8 juta per orang, itu adalah angka tertinggi kalau dibandingkan dengan kelompok umur lainnya,” kata Nailul.
Gen Z, sebagai generasi yang paling adaptif terhadap teknologi, disebut cenderung memilih fasilitas kredit melalui platform online seperti paylater dibanding kredit perbankan.
Proses pengajuannya yang mudah serta persyaratannya yang minim membuat banyak orang bisa lolos meski profil keuangannya sebetulnya tidak layak untuk diterima.
“Dulu kan ada layanan finansial yang menyediakan kredit, tapi untuk menyetujuinya mereka sampai harus survei dulu ke rumah. Sekarang tidak begitu,” jelas Nailul.
“Di e-commerce, misalnya, dilihat bahwa ‘oh transaksinya bagus nih bisa beli banyak barang’. Lalu itu dijadikan landasan untuk skor kredit. Padahal mungkin saja itu dibayari orang tuanya.
“Begitu juga di platform lain yang mengukurnya misalnya lewat riwayat perjalanan, misalkan saya sering ke restoran mahal, lalu itu dijadikan sebagai indikasi punya pendapatan bagus,” kata dia.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta