“Muktamar kali ini lebih memfokuskan untuk mengevaluasi pengaruh keputusan Situbondo, terutama mengenai kembalinya NU ke khitah 1926 dan kinerja PBNU yang dipilih pada 1984,” kata ahli antropologi Belanda yang telah lama menjadi pengamat Nahdlatul Ulama, Martin van Bruinessen.
Bruinessen yang turut hadir dalam Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1989 itu menuliskan pandangannya dalam ‘Traditionalist Muslims in A Modernizing World: The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order Politics, factional Conflict and The Search for A New Discourse’. Karya ini diterjemahkan Farid Wadjidi dalam buku “Nahdlatul Ulama: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru’.
Menemui Syekh Minangkabau di Saudi
Sebelum Muktamar NU 1989 dihelat, Gus Dur lebih sering mengunjungi pesantren-pesantren. Bahkan, kata Greg, beberapa bulan ketika Gus Dur baru saja terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, cucu Hadaratussyaikh Hasyim Asyari ini telah membiasakan untuk teratur berkunjung ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta cabang-cabang Nahdlatul Ulama di Sumatera Selatan hingga Bali.
Hari-hari terakhir jelang berlangsungnya muktamar, Gus Dur diam-diam pergi ke Makkah, Arab Saudi. Menurut pengamatan Bruinessen, seperti dikabarkan oleh media massa, Gus Dur menyempatkan untuk sowan (berkunjung) ke ulama besar kelahiran Sumatera Barat, yaitu Syekh Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani atau akrab disebut Syekh Minangkabau.
Greg menjelaskan, ketika Gus Dur berbicara di arena muktamar, dia tidak menyinggung kunjungannya itu. Dia juga tak merasa perlu memperkuat kesan bahwa Syekh Yasin telah merestuinya untuk jabatan kedua. Terlebih, media massa juga telah ramai memberitakan kunjungannya ke Saudi itu.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta