Dijelaskan, masyarakat di Banyumas jarang menanam salak, sedangkan di Banjarnegara banyak warga yang menanam tanaman buah tersebut.
“Warga Banyumas itu sudah pintar. Jadi di lereng-lereng yang terjal itu ditanami tanaman besar yang agak jarang dan di sela-selanya ditanami kapulaga tanpa membuat terasering,”ujarnya.
Ia mengatakan hal itu berbeda dengan di Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, banyak ditanami kentang yang dapat memicu erosi. Kalau erosinya besar, maka peristiwa berikutnya adalah longsor.
"Solusinya adalah hentikan menanam kentang dan beralihlah ke penanaman yang tidak perlu ada pengolahan lahan yang intensif. Kapulaga itu tidak perlu diolah lahannya, bisa hidup dan berbuah,”ungkapnya.
Pada bagian lain, Prof Suwarno melakukan kajian mengenai mitigasi yakni bagaimana mengurangi risiko bencana. Pengurangan risiko bencana pada intinya adalah meningkatkan kapasitas masyarakat.
"Bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakat? Ya ada pelatihan, ada sosialisasi, ada gladi bersih tentang bagaimana memanajemen bencana,”ujarnya.
Di tempat yang sama, Rektor UMP Assoc. Prof. Dr. Jebul Suroso mengatakan UMP terus berkomitmmen menambah jumlah guru besar. Sehingga hal itu akan meningkatkan peran UMP yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Rektor mengatakan Prof Suwarno memiliki kapabilitas dalam bidang geospasial khususnya tanah longsor. “Saya berharap dengan keahlian tersebut, Prof Suwarno bisa menjadi salah satu pakar menyumbangkan pemikirannya yang berkaitan dengan kebencanaan karena Indonesia merupakan supermarket bencana,”tandasnya.
Editor : EldeJoyosemito