YOGYAKARTA, iNews.id - Pangeran Diponegoro dikabarkan pernah merasa kecewa terhadap pejabat Keraton Yogyakarta karena mereka mengambil uang pajak dari rakyatnya hanya untuk diserahkan kepada pemerintah Inggris.
Saat itu, Sultan Hamengkubuwono III berhasil mengumpulkan jumlah uang yang signifikan dan mengirimkannya kepada pemerintah Inggris.
Pada masa pemerintahan Sultan Yogya ini yang dimulai pada Februari 1679, jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan mencapai 100 ribu dollar yang kemudian disetorkan kepada pemerintah Inggris yang menguasai wilayah Nusantara pada saat itu.
Sultan Hamengkubuwono III memerintah dengan tenang dan berhasil membawa kemakmuran. Selama masa pemerintahannya di Kesultanan Yogyakarta, ia mampu menghimpun 60 ribu dolar Spanyol. Peter Carey dalam bukunya "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 - 1855," menjelaskan bagaimana jumlah uang sebesar ini berhasil dikumpulkan melalui sumber daya keraton serta dana pensiun bagi anggota keluarga keraton yang teratur dibayarkan.
Pendapatan dari pajak jalan negara dan pasar yang diterima dari pemerintah Inggris, sekitar 100 ribu dolar Spanyol per tahun, memegang peranan penting dalam situasi tersebut. Rencana-rencana dibuat untuk mengontrol aktivitas pengumpul pajak dan mengatur pejabat polisi di wilayah desa dan pedesaan, termasuk di daerah-daerah terpencil.
Pangeran Diponegoro berusaha menghapus rencana-rencana ini, karena ia melihat bahwa para pejabat di Kesultanan Yogyakarta hanya memberikan beban kepada pemerintahan desa. Ia ingin mengembalikan tatanan seperti pada masa pemerintahan Sultan Pertama.
Sang Ayah tampaknya setuju dengan usulan Pangeran Diponegoro, dan memberikan waktu satu tahun sebelum perubahan-perubahan tersebut dijalankan. Namun, Sultan Hamengkubuwono III meninggal sebelum setahun berlalu.
Selain itu, hasil panen di wilayah Keraton Yogyakarta juga dipengaruhi oleh faktor alam. Terutama karena letusan gunung berapi Tambora di Sumbawa antara April dan Juli 1815.
Letusan ini dianggap sebagai letusan gunung berapi paling dahsyat dalam sejarah, bahkan empat kali lebih kuat daripada letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.
Kejadian ini mengakibatkan tahun 1816 dikenal sebagai "tahun tanpa musim panas" di belahan bumi utara, dan secara signifikan mempengaruhi hasil panen padi tahun 1815 dengan keuntungan besar dalam jangka pendek.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta