Selama Agresi Militer II oleh Belanda, Yogyakarta berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda. Presiden Soekarno, Bung Hatta, dan beberapa anggota kabinet juga ditawan. Namun, meskipun demikian, Presiden Soekarno sebelumnya telah menyarankan agar tetap tinggal di kota tersebut untuk mendapatkan perawatan.
Namun, anjuran itu tidak dapat dipenuhinya. Ia tetap memimpin perang gerilya melawan Belanda, melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tentara.
Oleh karena itu, dengan dibawa menggunakan tandu, ia berangkat memimpin pasukan dalam melaksanakan perang gerilya. Selama sekitar tujuh bulan, ia berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, dari gunung ke gunung, dalam keadaan yang sangat lemah dan sakit. Obat hampir tidak tersedia.
Sebagai seorang Panglima yang luar biasa, iman dan keislaman tertanam kuat di dalam hatinya. Ia sangat mencontohi kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhanaan dan ketulusan. Karenanya, perlakuan istimewa yang diterimanya dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan sopan.
Ia menanamkan pada bawahannya bahwa yang gugur dalam pertempuran ini tidak mati dengan sia-sia, melainkan sebagai syuhada. Untuk menyemai semangat perjuangan jihad ini di kalangan tentara maupun rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang mengajak semua rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda.
Ia mengutip sebuah hadits Nabi, "Insyafilah! Barangsiapa mati, padahal dia belum pernah terlibat dalam perang (memperjuangkan keadilan) bahkan dalam hatinya tidak ada keinginan untuk berperang, maka dia mati seperti seorang munafik."
Namun akhirnya, ia harus kembali dari medan gerilya. Ia meninggal dunia dalam usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tanggal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini berpulang di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dihormati sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta