PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id - HUT RI ke 78 diperingati pada hari ini 17 Agustus 2023. Nah, salah satu pahlwan yang namanya harum adalah Jenderal Soedirman.
Dalam buku berjudul "Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman", terungkap bahwa Jenderal Soedirman dilahirkan dalam keluarga petani kecil di Desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916.
Ayahnya bekerja sebagai mandor tebu di pabrik gula di Purwokerto. Sejak masih bayi, Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Beliau mendapatkan pendidikan formal di Sekolah Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang memiliki semangat nasional yang tinggi.
Kemudian, beliau melanjutkan ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah di Solo, namun tidak menyelesaikannya. Soedirman, yang dikenal sebagai individu disiplin dan aktif dalam organisasi Pramuka Hizbul Wathan, kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang tekun dalam beribadah. Di museum Sasmitaloka Panglima Jenderal Besar Soedirman di Jalan Bintaran Wetan, Pakualaman, Yogyakarta, terdapat sajadah yang digunakan untuk beribadah. Tempat sholat tersebut diletakkan tepat di samping tempat tidurnya di museum.
Karir militernya dimulai sebagai seorang dai muda yang aktif berdakwah pada era 1936-1942 di daerah Cilacap dan Banyumas. Pada masa itu, ia menjadi seorang dai terkemuka yang dihormati oleh masyarakat.
Beliau selalu menjaga kesuciannya dengan melakukan wudhu. Jika wudhu terputus, beliau akan berwudhu kembali. Bahkan jika waktu sholat belum tiba, beliau tetap melakukan wudhu.
Kedisiplinan dalam menjaga wudhu selalu dijaga. Ketika mendengar adzan, beliau segera melaksanakan sholat. Bahkan saat terlibat dalam perang gerilya, beliau tidak pernah menunda kewajiban beribadah, bahkan saat dalam kondisi sakit.
Selama berperang gerilya, Soedirman memerintahkan asistennya untuk membawa kendi berisi air. Air tersebut digunakan untuk berwudhu selama perang gerilya.
Beliau juga memiliki prinsip untuk tidak pernah meninggalkan sholat. Jika tidak mampu berdiri, beliau melaksanakan sholat dalam posisi duduk. Jika tidak bisa duduk, sholat tetap dilakukan dengan berbaring. Beliau juga rajin berpuasa.
Pendidikan militer dimulai dengan mengikuti pendidikan di tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut, beliau diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya.
Saat itu, beliau sering kali memprotes tindakan sewenang-wenang dan kasar tentara Jepang terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya, beliau bahkan hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.
Setelah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Sudirman kemudian dipilih menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Melalui Konferensi TKR pada tanggal 2 November 1945, ia terpilih sebagai Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
Kemudian, pada tanggal 18 Desember 1945, ia diangkat menjadi Jenderal melalui pelantikan oleh Presiden.
Ketika pasukan sekutu tiba di Indonesia dengan niat merampas senjata Jepang, pasukan Belanda juga turut ambil bagian. Oleh karena itu, TKR terlibat dalam pertempuran melawan pasukan sekutu.
Pada bulan Desember 1945, pasukan TKR di bawah kepemimpinan Sudirman terlibat dalam pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkan serangan bersama terhadap posisi Inggris. Pertempuran yang berlangsung selama lima hari ini akhirnya memaksa pasukan Inggris mundur ke Semarang.
Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, ibu kota Negara Republik Indonesia berada di Yogyakarta karena Jakarta telah jatuh ke tangan Belanda sebelumnya.
Pada saat itu, Jenderal Sudirman yang berada di Yogyakarta sedang mengalami sakit parah. Kesehatannya sangat lemah karena hanya satu paru-parunya yang masih berfungsi.
Selama Agresi Militer II oleh Belanda, Yogyakarta berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda. Presiden Soekarno, Bung Hatta, dan beberapa anggota kabinet juga ditawan. Namun, meskipun demikian, Presiden Soekarno sebelumnya telah menyarankan agar tetap tinggal di kota tersebut untuk mendapatkan perawatan.
Namun, anjuran itu tidak dapat dipenuhinya. Ia tetap memimpin perang gerilya melawan Belanda, melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tentara.
Oleh karena itu, dengan dibawa menggunakan tandu, ia berangkat memimpin pasukan dalam melaksanakan perang gerilya. Selama sekitar tujuh bulan, ia berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, dari gunung ke gunung, dalam keadaan yang sangat lemah dan sakit. Obat hampir tidak tersedia.
Sebagai seorang Panglima yang luar biasa, iman dan keislaman tertanam kuat di dalam hatinya. Ia sangat mencontohi kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhanaan dan ketulusan. Karenanya, perlakuan istimewa yang diterimanya dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan sopan.
Ia menanamkan pada bawahannya bahwa yang gugur dalam pertempuran ini tidak mati dengan sia-sia, melainkan sebagai syuhada. Untuk menyemai semangat perjuangan jihad ini di kalangan tentara maupun rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang mengajak semua rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda.
Ia mengutip sebuah hadits Nabi, "Insyafilah! Barangsiapa mati, padahal dia belum pernah terlibat dalam perang (memperjuangkan keadilan) bahkan dalam hatinya tidak ada keinginan untuk berperang, maka dia mati seperti seorang munafik."
Namun akhirnya, ia harus kembali dari medan gerilya. Ia meninggal dunia dalam usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tanggal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini berpulang di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dihormati sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta