YOGYAKARTA, iNewsPurwokerto.id-Momen haru tercipta saat pengukuhan Guru Besar, Prof. Ir. Sarjiya, MT., Ph.D., IPU., di ruang Balai Senat UGM awal Februari lalu.
Suara dosen dari Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik UGM ini terdengar gemetar, dan matanya berkaca-kaca ketika membacakan pidato pengukuhan.
Beberapa kali, dia harus berhenti sejenak membacakan teks pidato untuk menyeka air matanya yang mengalir deras.
Pria yang lahir di Kulon Progo 51 tahun yang lalu ini berasal dari keluarga sederhana di Lendah, Kulonprogo. Ayahnya, Pujidiyono, bekerja sebagai buruh tobong labor atau pengrajin gamping.
Ibunya, Sumirah, adalah pedagang gula Jawa yang setiap harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Yogyakarta.
"Bapak dan Ibu waktu itu berani membuat keputusan untuk mengizinkan dan membiayai saya melanjutkan sekolah," ujarnya.
Sarjiya menceritakan bahwa kedua orang tuanya tidak bisa membaca dan menulis karena tidak pernah sekolah.
Meski begitu, keduanya tetap gigih menyekolahkan Sarjiya, meskipun keputusan itu harus mengorbankan pendidikan adik perempuannya.
"Saya mohon maaf kepada adikku, Suparsih, yang waktu itu terpaksa tidak bisa melanjutkan ke bangku SMA, meskipun nilai ujian SMP-nya sangat baik, karena kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah kita berdua secara bersamaan. Semoga pengorbanan kakak-kakak dan adikku mendapatkan imbalan kebaikan yang lebih banyak dari Tuhan Yang Maha Esa," kata anak keempat dari lima bersaudara ini.
Editor : EldeJoyosemito