PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id-Tidak banyak yang tahu, hanya sekitar 40 menit dari pusat kota Purwokerto, ada sebuah kampung yang masih memelihara keindahan alam dan kekayaan budayanya dengan letak geografis yang unik. Kampung ini bernama Kampung Cibun.
Dikelilingi oleh hutan di kaki Gunung Slamet dan Sungai Logawa, kampung ini terpisah dari desa lainnya, seolah keindahan alamnya terawetkan oleh waktu.
Untuk mencapai Kampung Cibun, Desa Sunyalangu, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas, pengunjung harus menyeberangi Sungai Logawa dan menempuh jalan yang menanjak menuju perbukitan. Di sana, pemandangan indah dengan bukit-bukit hijau, hamparan sawah bertingkat, dan aliran Sungai Logawa menyambut kedatangan para tamu. Suasana semakin khas dengan lantunan Babad Pasir Luhur, seni tradisional Banyumasan yang masih hidup di kampung ini.
Tradisi di Kampung Cibun sempat mengalami kemunduran akibat masuknya modernisasi. Hingga tahun 2004, kampung ini belum memiliki akses listrik. Setelah listrik tersedia, kampung ini diterpa arus modernisasi; beberapa tradisi tergantikan oleh hiburan modern seperti televisi, ponsel pintar, dan organ tunggal.
Salah satu tradisi yang nyaris punah adalah tradisi membaca Babad Pasir Luhur, yang dulunya biasa dilakukan dalam acara-acara adat seperti mitoni, mimiti, nuruni, pernikahan, sunatan, dan pembangunan rumah.
Pada tahun 2019, Nisa Roiyasa, akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, datang ke Dukuh Cibun dan mendengar cerita tentang Babad Pasir Luhur melalui sesepuh kampung, Ahmad.
Ia beruntung bisa bertemu dengan Mbah Sikun, satu-satunya "tukang maca" Babad Pasir Luhur yang tersisa, meskipun kondisi Mbah Sikun saat itu sudah sangat tua dan tak mampu berbicara. Ketika syair Babad Pasir Luhur dibacakan oleh putranya, Mbah Sikun tersenyum, menyampaikan rasa gembira bahwa tradisi ini masih dihargai.
Pertemuan ini menjadi awal kebangkitan tradisi tersebut dengan terbentuknya Paguyuban Maca Babad Pasir Luhur, dipimpin oleh Riswandi, putra Mbah Sikun. Kini, tradisi ini kembali hidup dan diikuti oleh berbagai kalangan, mulai dari orang tua, pemuda, hingga anak-anak. Kebangkitan tradisi ini juga memicu lahirnya kembali tradisi-tradisi lain seperti upacara pertanian tradisional, Gubrak Lesung, Genjring Kuna, hingga kuliner khas seperti Jenang Bumbung, Kopi Cibun, dan Teh Kapulaga.
Editor : EldeJoyosemito