Kisah 3 Camat Srikandi Penjaga Batas Banyumas, Dihadang Warga, Angkat Rok, hingga Temukan Saudara

Sebuah kejadian unik dialami Camat Lumbir, Susanti Tri Pamuji saat melintas di jalan Desa Cirahab, Kabupaten Banyumas. Mobil yang ditumpanginya tiba-tiba dihentikan oleh seorang pemuda yang berteriak, “Stop, Bu… stop!”
Sopir dan penumpang di dalam mobil, termasuk Santi, sapaan akrab Bu Camat Lumbir (BCL), terkejut dan sempat merasa waspada. Namun, setelah turun, pemuda itu menjelaskan maksudnya. “Maaf bu camat, embah saya ingin berfoto bareng bu camat. Embah saya sudah sepuh ada dipinggir jalan,” pemuda itu menunjuk wanita tua berusia sekitar 80 tahun yang tak jauh darinya.
Mendengar hal itu, Santi pun tertawa dan segera menghampiri sang nenek untuk berfoto bersama. “Ternyata nenek itu suka dengan camat wanita dan penasaran pengin foto bersama. Makanya saya disuruh turun untuk foto bersama dan nenek itu menunggu dipinggir jalan karena tahu saya akan lewat,” cerita Santi dengan senyum lebar.
Kejadian serupa bukan pertama kali dialaminya. Pernah suatu ketika, seorang ibu hamil tiba-tiba mendekatinya hanya untuk meminta dielus perutnya. “Saya manut saja untuk mengelus, tentu saja sambil saya doakan kehamilan ibunya ini,” ujarnya.
Berdinas di Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas ini memang berbeda dari wilayah yang lain. Wilayah kecamatan paling ujung barat Kabupaten Banyumas dengan luas wilayah 10.266,095 Ha atau 102,66 Km2 dan berada di ketinggian 35 – 40 m dari permukaan laut memiliki curah hujan 2.227 mm per tahun.
Sebagai alumni STPDN angkatan XIII, Santi harus menghadapi berbagai tantangan saat berdinas di wilayah tergolong rawan bencana, mulai dari tanah longsor, banjir di jalan nasional Lumbir, hingga kebakaran hutan saat musim kemarau.
Kondisi wilayah perbukitan ini dikenal sulit air namun mudah longsor saat hujan turun. Wilayah ini bergantung pada sungai Citanduy untuk kebutuhan airnya.
Selama dua tahun menjabat, ia mencatat tiga desa Cingebul, Besuki, dan Dermaji, selalu mengalami krisis air bersih di musim kemarau. Saat terjadi kebakaran hutan, ia tak segan turun langsung ke lokasi, kapan pun mendapatkan laporan.
“Saya tinggal di rumah dinas camat sendirian. Kalau ada bencana, harus segera ke lokasi. Suami saya hanya bisa menemani seminggu dua kali karena kesibukannya,” ungkap Santi.
Sebagai seorang perempuan, ia mengaku harus bersikap sigap layaknya laki-laki. “Di sini saya harus sat-set saat terjadi bencana. Apalagi Lumbir jauh dari pusat kabupaten, jadi kami mengandalkan masyarakat, relawan, dan Forkompimcam untuk penanganan pertama,” tuturnya.
Pengalaman lain unik pernah juga dialami BCL ini. Saat pulang pengajian di Grumbul Situnggul dan Sirongge yang berjarak 40 menit ke rumah dinas, ia harus melewati sepinya jalan karena ia selalu mengikuti pengajian hingga selesai.
“Dalam perjalanan berbagai kegiatan termasuk pengajian, saya sampai kekenyangan. Bagaimana berat badan bisa turun sedangkan saya ditawari makan dan medangan bisa sampai 9 kali oleh warga dalam waktu silih berganti hari itu juga,” ujar Santi sambil tertawa.
Meski seorang wanita, namun santi kerap harus tongkrongan sampai malam dengan bapak untuk menjaga keamanan wilayah. Apalagi saat pilkada kemarin, ia sudah merasa mewakili sebagai pria karena harus melek wengi (tidak tidur malam).
Dalam upayanya mengatasi kemiskinan, Santi menginisiasi program Gerimis Senja atau Gerakan Kolaborasi Terintegrasi Mengatasi Kemiskinan Secara Berkelanjutan. Program yang sudah berjalan dua tahun ini telah membantu warga miskin mendapatkan rumah layak huni, salah satunya melalui bantuan CSR Bumdesma Satria Mandiri LKD Lumbir.
Santi juga tengah membangun citra Lumbir sebagai sentra ternak kambing, yang digagas dari Desa Dermaji. Untuk mendukung program ini, ia mengadakan festival kambing tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban desa atas program ketahanan pangan melalui hibah kambing.
“Jadi festival kambing ini ibaratnya bagi desa sebagai bentuk laporan pertanggujawaban program ketahanan pangan lewat hibah kambing. Kerja bagi saya amanah dan harus dilaporkan ke masyarakat selain atasan saya,” ujar Santi.
Menjadi camat di Lumbir adalah pilihan yang tak terduga bagi Santi. Ia mendapat jabatan ini melalui proses lelang dan memilih Lumbir karena merasa memiliki ikatan dengan tanah leluhurnya. "Kesan pertama saat ke sana sering mual karena jalannya berkelak kelok menikung. Namun sekarang sudah menikmati,” kenangnya.
Editor : Arbi Anugrah