Gowok Kamasutra Jawa, Tradisi Pendidikan Seks yang Pudar karena Melanggar Norma dan Agama

Konsep Gowok juga hadir dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Di sana, figur Gowok digambarkan sebagai perempuan yang dipercaya untuk mendidik anak laki-laki yang telah baligh, terutama menjelang pernikahan.
Ahmad Tohari menjelaskan, masa “pergowokan” umumnya berlangsung antara beberapa hari hingga satu minggu. Dalam waktu tersebut, anak laki-laki tinggal bersama seorang Gowok, belajar secara langsung melalui proses yang dikenal dengan istilah “nyantrik”.
Fokus utamanya adalah membekali calon pengantin pria agar tidak merasa canggung atau gagal di malam pertama mereka.
Usai menjalani pembelajaran, pemuda dianggap lebih dewasa secara emosional dan siap menghadapi kehidupan rumah tangga. Bahkan, mereka dipercaya akan lebih disukai perempuan karena dinilai sudah memahami etika serta seni hubungan suami istri, seperti yang diajarkan dalam Kamasutra versi lokal.
Pemilihan sosok Gowok biasanya disepakati antara pihak orang tua laki-laki dan calon mertua. Umumnya, yang dipilih adalah perempuan berusia 30 hingga 40 tahun, berasal dari kalangan masyarakat Jawa yang berpengalaman dan dikenal bijak dalam memberi nasihat tentang pendidikan seks.
Menariknya, praktik ini tidak hanya terjadi saat remaja memasuki masa pubertas, tetapi juga menjelang pernikahan. Hal ini menunjukkan bagaimana Budaya Jawa tradisional memberikan perhatian khusus pada kesiapan emosional dan seksual seorang pria sebelum membentuk keluarga.
Memasuki dekade 1960-an, tradisi Gowok mulai memudar. Pengaruh ajaran agama dan moral baru yang lebih konservatif menjadikan praktik ini dianggap tidak lagi sesuai dengan norma sosial masyarakat Jawa modern.
Namun, lewat film Gowok Kamasutra Jawa, publik kembali diajak melihat warisan budaya ini dalam perspektif yang berbeda, bukan sebagai praktik negatif, tetapi sebagai bentuk pendidikan seks tradisional yang pernah eksis dalam masyarakat Jawa.
Editor : Arbi Anugrah