Syarat Akan Potensi Masalah, KRIS Dapat Sejumlah Penolakan

PURWOKERTO, iNewsPurwokerto.id-Gelombang penolakan kian santar bergulir di kalangan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjelang rencana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan berlaku mulai 1 Juli 2025.
Bukan tanpa alasan, pelaksanaan KRIS dinilai berpotensi menurunkan kualitas perawatan serta ketidakefisienan dalam mengakses layanan kesehatan.
Yuliana Sulistyaningsih (54) seorang peserta JKN Kelas I yang telah berulang kali mengakses layanan medis untuk pengobatan diabetes dan serangan jantung bagi sang suami. Pengalamannya ini membuatnya sadar kenyamanan bagi suami selama mendapat perawatan medis adalah hal krusial.
Yuliana merasakan betul manfaat Sistem Kelas untuk mendapatkan layanan rawat inap yang nyaman sesuai dengan kemampuan masing-masing. Penerapan KRIS dengan standar empat tempat tidur dalam satu ruangan tentu akan mengurangi kualitas layanan dan kenyamanan yang selama ini telah diterima peserta JKN.
“Kalau harus berbagi kamar dengan banyak orang pasti mengurangi kenyamanan. Ruangan rawat inap yang lebih dari dua orang tentu sangat tidak kondusif. Tingkat stresnya tinggi, saya yang mendampingi saja stres apa lagi yang sedang sakit pasti tidak bisa istirahat,” ungkapnya.
Pelaksanaan KRIS yang diharapkan dapat menyamaratakan layanan rawat inap justru dikhawatirkan akan merugikan peserta JKN secara keseluruhan. Hal ini terutama jika ditinjau dari sisi pembiayaan peserta JKN Kelas III yang tentu akan mengalami kenaikan besaran iuran.
Sistem Kelas yang sejak lama diterapkan dalam Program JKN telah memberikan keleluasaan untuk memilih fasilitas rawat inap sesuai dengan kemampuan finansial masing-masing. Meskipun begitu, perbedaan iuran ini tidak mempengaruhi kualitas layanan medis yang diterima. Penerapan KRIS dengan single tarif justru akan mengurangi fleksibilitas dalam pembayaran iuran.
Sementara itu, di sisi lain penerapan KRIS juga dapat mendorong peningkatan pengeluaran biaya tambahan saat mendapatkan perawatan medis. Peserta JKN terpaksa harus membayar selisih biaya jika ingin mendapatkan layanan yang lebih baik.
“Saya lebih setuju dengan Sistem Kelas. Kita mendapat sesuatu sesuai dengan apa yang kita keluarkan. Jadi tidak perlu repot naik kelas lagi, cukup dengan kelas yang sudah kita pilih sejak awal. Apalagi ketika anggota keluarga sedang sakit tentu pikirannya kemana-mana. Jadi pasti repot sekali kalau saya harus urus ini dan itu di rumah sakit untuk naik kelas,” ujarnya.
Menurut Yuliana mekanisme biaya tambahan untuk mendapatkan layanan rawat inap yang lebih baik dalam KRIS tidak ada bedanya dengan Sistem Kelas.
Hal ini justru menjadi sebuah pertanyaan mengapa pelaksanaan KRIS seolah-olah harus dipaksakan. KRIS justru berpotensi menimbulkan ketidakefisienan dalam mengakses layanan rawat inap sesuai dengan kehendak dan kemampuan peserta JKN. Potensi ini timbul akibat mekanisme KRIS dengan satu kelas rawat inap yang sama untuk semua peserta.
Penolakan penerapan KRIS juga disampaikan Sudarsih (50) seorang pekerja yang mendapatkan kepesertaan JKN dari perusahaan tempatnya bekerja. Ia menyoroti biaya tambahan untuk mendapatkan fasilitas rawat inap yang lebih baik.
“Jadi nambah beban lagi, makanya kurang setuju. Mending Sistem Kelas seperti yang sekarang saja. Kelas I dapat satu kamar untuk sendiri, jangan diubah-ubah. Memang benar dalam mekanisme KRIS kalau mau yang nyaman harus nambah uang lagi tapi yang sekarang saja (Sistem Kelas) bisa loh kenapa harus dirubah,” ucapnya dengan nada penasaran.
Sudarsih menambahkan alasannya kurang setuju dengan rencana penerapan KRIS karena menurutnya sejauh ini pelaksanaan Sistem Kelas dalam Program JKN sudah berjalan dengan baik dalam memberikan layanan kesehatan.
“Meskipun ada perbedaan iuran, tapi pelayanan (medis) yang didapatkan tetap sama. Jadi mending seperti ini, kami (pekerja) sudah rela ada potongan gaji bulanan untuk mendapatkan kenyamanan lebih. Saat rawat inap pasti butuh privasi jadi lebih enak yang sekarang (Sistem Kelas) dengan pengkategorian ruang rawat inap untuk Kelas I, II, dan III,” jelasnya.
Program JKN yang selama ini berjalan telah menjadi garda terdepan dalam pembiayaan layanan kesehatan bagi Masyarakat Indonesia. Peserta JKN tentu berharap kebijakan yang akan diambil seharusnya dapat membawa Program JKN ke arah yang lebih baik bukan sebaliknya.
Editor : EldeJoyosemito