PURWOKERTO, iNews.id - Tak terasa, kini umat Islam akan menyongsong Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah. Salah satu yang hal yang erat dengan Hari Raya adalah ketupat. Dari generasi ke generasi, ketupat yang dalam filosofi Jawa berarti "ngaku lepat" (mengakui kesalahan), menjadi satu makanan yang identik dalam merayakan hari besar umat Islam.
Hal tersebut juga diutarakan oleh Ovi (33), salah seorang warga yang tengah membeli selongsong ketupat. Menurutnya, lebaran tidaklah lengkap tanpa adanya ketupat.
"Iya kalo tiap lebaran sih beli, emang udah tradisi ya, kalo misale lebaran ga ada ketupat itu kaya ada yang beda. Ya walaupun tetep beli nasi, tetep harus ada kupatnya. Beli yang udah langsung jadi aja biar ga susah, ga bisa bikin juga," katanya pada iNewsPurwokerto.id, Minggu (1/5/2022).
Ditemui di tempat yang sama, terlihat Tarmi (50) dan Sutiah (62) tengah menganyam janur atau daun kelapa di kawasan trotoar depan Pasar Manis, Kecamatan Sokanegara, Purwokerto Timur, Banyumas. Keduanya telah mulai berjualan sejak beberapa hari lalu.
Meskipun berjualan di tempat yang sama, ternyata keduanya berasal dari dua tempat yang berbeda. Tarmi (50) merupakan salah seorang pengrajin selongsong ketupat asal Kalibagor, Banyumas yang sudah datang sejak pukul 07.00 WIB.
Untuk membuat satu selongsong ketupat sendiri, Tarmi mengaku bahwa dirinya membutuhkan satu helai daun kelapa dan ia mampu mengerjakannya dalam waktu satu menit. Sedangkan, bahan baku selongsong ketupat tersebut didapatkannya dari pemilik pohon kelapa.
"Ini kan pupusan mas, satu batang isinya banyak, harganya Rp 12.000,- kadang Rp 15.000,-," jelas wanita paruh baya yang telah berjualan sejak duduk di bangku kelas 6 SD.
Berbeda dengan Tarmi, Sutiah merupakan pengrajin asal Karanggude, Karanglewas, Banyumas. Ia juga mengaku bahwa tidak seperti penjual selongsong ketupat pada umumnya, wanita berusia 62 tahun ini tak pernah mematok harga.
"Aku jualnya macem-macem mas, Rp 10.000, Rp 8.000, Rp 7.500, orang kan ada yang gak mampu, wong Rp 10.000, bayar langsung, yang ngeyang/nawar ya ada, yang Rp 5.000 pun tak kasih. Saya orangnya kaya gtu, ga bisa gitu lah yang harus Rp 10.000, yang tadi itu Rp 5.000, tak kasih," jelas nenek yang sudah datang sejak pukul 04.30 WIB.
Kendati tak mematok harga, di hari sebelumnya Sutiah mampu membukukan pendapatannya sebesar Rp 760.000 dalam kurun waktu sehari.
"Namanya orang berjualan yas mas, perjuangan sih ini, yang penting ada usaha," sambungnya.
Selain itu, Sutiah juga menceritakan perjuangannya dalam berjualan selongsong ketupat. Waktu itu dirinya pernah ditegur oleh petugas keamanan karena kedapatan berjualan di trotoar.
"Baru dibikin ini ya (renovasi Pasar Manis), kan ga boleh buat jualan di sini yaa (trotoar depan Pasar Manis), aku kan orangnya bandel jadi nekat di sini aja. Terus di datengi satpol PP, suruh mau dibawa, ya sanah dibawa aja, ga jualan tiap hari aja. Tapi akhire ga dibawa. Orang jualannya ga tiap hari cuman 3 hari," kenang wanita yang sudah menggeluti kerajinan ketupat sejak tahun 1975.
Editor : Arbi Anugrah