Manusia Banyumas,lanjutnya, bicara apa adanya atau thokmelong karena ia melihat sesuatu dan menyatakan sesuatu itu sebagaimana yang tampak di depan mereka. Maksudnya, manusia Banyumas tidak mengingkari kenyataan yang mereka lihat.
“Thokmelong itu sebagaimana dengan cablaka atau blakasuta juga dinyatakan secara spontan dan tidak dibuat-buat. Kata thok menunjukkan waktu seketika itu juga, bukan miki (baru saja) atau mau (tadi agak lama),”tambahnya.
Waktu seketika itu merupakan kecepatan reaksi manusia Banyumas terhadap suatu fenomena yang tidak memberikan kesempatan ia untuk berpikir dan memberikan reaksi yang artifisial.
Karena thokmelong itulah, kata-kata yang muncul menjadikan lawan bicara mendapat kejutan, yaitu sesuatu yang mengejutkan yang berakibat orang itu bisa tersinggung, tidak senang, tidak nyaman, merasa kurang dihormati, bahkan mungkin merasa dilecehkan.
“Itulah thokmelong manusia Banyumas yang sebenarnya tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan orang lain, tetapi merupakan suatu upaya untuk tidak mengambil jarak dengan orang lain,”ungkapnya
Hal itu didukung oleh kehidupan manusia Banyumas yang cenderung egaliter yang menjunjung kesetaraan relasi antara satu individu dengan individu lain. Maka dari itu, manusia Banyumas selalu memakai kata inyong dan kowe atau ko atau kono atau rika dalam berbahasa dialek Banyumasan.
Manusia Banyumas tidak mengenal sapa sira sapa ingsun yang cenderung merupakan representasi dari budaya feodalistik yang membedakan antara strata wong gedhe dengan wong cilik.
“Thokmelong merupakan bentuk keakraban yang diciptakan oleh manusia Banyumas yang menganggap orang lain sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat (padha-padha atau wonge dhewek) sehingga sifat itu bukan ekspresi dari sok kenal sok dekat yang di belakangnya ada maksud-maksud yang kurang baik karena manusia Banyumas tidak akan memanfaatkan kedekatannya dengan orang lain untuk kepentingan pribadi,”katanya.
Editor : EldeJoyosemito