Bagi manusia Banyumas memanfaatkan orang lain itu termasuk tindakan yang dikategorikan tidak etis karena di dalam rangka thokmelong itu juga ada unsur glewehan yang jelas tidak serius.
“Glewehan itu memang merupakan perilaku penjorangan atau semblothongan yang tidak harus direaksi dengan serius. Oleh karena itu, manusia Banyumas cenderung saling gleweh, saling menjorang, dan saling semblothongan yang akhirnya bermuara pada keakraban dan mengikis jarak,”jelasnya.
Salah satu cara yang terbaik untuk menghadapi cablaka atau blakasuta atau thokmelong manusia Banyumas adalah melakukan reaksi yang sama sehingga tidak merasa tersinggung atau dilecehkan karena tidak jarang muncul kata-kata jorok dan saru (brecuh) dalam percakapan sehingga manusia Banyumas menjunjung ungkapan gemblung- gemblung ari rubung (biar gila asal berkumpul) dalam rangka menjalin kebersamaan dan keakraban.
Berbicara brecuh tampaknya merupakan sesuatu yang khas di antara percakapan manusia Banyumas. Ada istilah lain yang sepadan dengan cablaka/blakasuta/thokmelong, yaitu glogok soar, yang diduga berasal dari bahasa Sunda golokgok yang berarti menuangkan air.
“Glogok soar berarti menuangkan suara apa adanya. Cablaka dalam pewayangan Jawa dan juga gagrag Banyumasan tampak pada tokoh Werkudara (Bima), Antasena, Lingsanggeni, dan panakawan Carub Bawor, serta Prabu Puntadewa yang dikenal sebagai manusia yang berdarah putih.”
Dalam adegan gara-gara, bahkan pada adegan-adegan lain juga ditunjukkan oleh dalang perilaku penjorangan yang intinya lebih mengarah kepada glewehan. Tokoh-tokoh panakawan dan Antasena oleh dalang sering dipakai untuk menunjukkan cablaka.
“Cablaka sebagai perilaku penjorangan, tetapi tokoh Puntadewa, Werkudara, dan Lingsanggeni dikategorikan thokmelong atau cablaka atau blakasuta yang serius meskipun ada juga sebuah naskah wayang dari Purbalingga dari tahun 1860 Masehi yang berisi teks yang menggunakan dewa sebagai media glewehan, misalnya Sanghyang Narada melakukan keprok bokong untuk glewehi (menggoda, mengganggu, dan bahkan ada unsur pelecehan) terhadap tapa Bagawan Palasara yang bisa dibatalkan,”paparnya.
Wayang gagrag Banyumasan selama ini menjadi media yang digunakan untuk menyatakan kecablakaan atau keblakasutaan atau kethokmelongan manusia Banyumas di antara sesama Banyumas.
“Bukankah nama Banyumas mengandung unsur banyu atau air yang dituangkan (golokgok)? Mas atau emas adalah logam mulia yang mengkilap (melong). Logam mulia berarti suatu logam yang tidak bisa dibentuk secara instan, tetapi juga tidak mudah berubah.”
Keberadaan emas tidak bisa ditutup-tutupi meskipun ia berada di tengah-tengah sampah, ia tetap emas. Banyumas merupakan simbol kejujuran dan keterusterangan.
Editor : EldeJoyosemito