Ustaz M. Saifudin Hakim menebutkan dari sahabat Jabir bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
“Pernah didatangkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah. Tetapi, jenazah tersebut tidak disholatkan oleh beliau.”
(HR. Muslim no. 978)
Hadis di atas menunjukkan bahwa disyariatkan bagi seorang pemimpin (penguasa) kaum muslimin atau orang yang memiliki kedudukan (tokoh terpandang) di masyarakat untuk tidak mensholatkan orang yang mati bunuh diri.
Hal ini disebabkan maksiat yang telah dia kerjakan. Juga supaya orang lain (yang masih hidup) menjauhi perbuatan dosa besar tersebut.
Dzahir hadis ini menunjukkan bahwa hukum ini juga berlaku bagi orang selain pemimpin (misalnya, tokoh masyarakat). Mereka juga boleh tidak mensholatkan jenazah orang yang mati bunuh diri jika hal tersebut dinilai bisa sebagai bentuk peringatan bagi orang-orang yang masih hidup agar tidak melakukan hal serupa. (Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 24: 290)
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait